Saya yakin, para netter pasti sudah kenal dan familier betul dengan program Internet Download Manager (IDM). Untuk urusan download IDM menduduki posisi paling atas dalam akurasi maupun kecepatannya. Ini sepanjang yang saya tau lho, tapi memang saya dah buktiin sendiri. Pernah saya download film Hindi yang ukurannya mencapai hampir 1GB, seharian deh downloadnya, putus nyambung tapi sukses. Apalagi ukuran di bawah itu, dijamin lancar-lancar aja.
Penggemar berat Youtube kalau mau download asal sudah diinstall IDM gak perlu lagi program pengaya atau Add On untuk mendownloadnya, karena diposisi pojok kanan atas layar, dah nongkrong tuh tulisan download pake idm yang tinggal klik aja.
Namun, sayangnya program ini berbayar. Jadi ya mesti beli! Saya sarankan bila Anda berkecukupan beli saja melalui situs resminya. Ini kan demi hak cipta dan pengembangan program tersebut ke depan. Cuma urusannya kan agak repot buat orang semacam saya yang gak punya kartu kredit. Jadi ya pakai aja versi gratisnya alias trial yang hanya berlaku selama 30 hari saja. Akan tetapi dengan sedikit trik, program yang semula trial ini akan menjadi gratis tis alias gk perlu bayar alias full version. IDM yang trial bisa jadi full version hehehe bisa hemat fulus kan?
Yang perlu diperhatikan:
1. Setiap kali install maupun buka IDM pastikan posisi koneksi ke internet off alias putus
2. Kalau muncul peringatan seperti gambar di bawah klik OK aja
3. Lalu muncul pilihan untuk registrasi:
* isi sembarang nama pada first name
* isi sembarang nama pada last name
* isi dengan email anda yang masih berlaku / valid
* isi serial number berikut ini: I23LZ-H5C2I-QYWRT-RZ2BO
4. klik OK, apabila muncul peringatan ....
5. klik OK lagi
6. Kini jalankan IDM (pastikan koneksi masih off)
7. Kalau muncul lagi seperti gbr 2 di atas lakukan sekali lagi langkah di atas
8. Setelah IDM sudah jalan, kini koneksikan kembali internet Anda
Catatan:
Apabila keesokan hari Anda buka idm muncul lagi fake serial number, lakukan lagi langkah di atas. pengalaman q sih cuma registrai 2x setelah itu sampai sekarang gk pernah muncul fake serial number, jadi sdh benar2 full version. selamat mencoba, bila belum berhasil bisa kontak saya.
Kamis, 13 Desember 2012
Rabu, 08 Agustus 2012
KEBERSAMAAN YANG DIDAMBAKAN DAN YANG TERABAIKAN
oleh: M. Wahid Rosyidi
Penetapan awal ramadhan 2012 atau 1433 H kembali terjadi
perbedaan, dan dimungkinkan penetapan Idhul Fitri pun akan terjadi perbedaan
kembali. Muhammadiyah dan FPI menetapkan awal Ramadhan sehari lebih dulu
daripada keputusan pemerintah yang juga didukung oleh NU dan berbagai ormas
muslim lain melalui sidang ishbat departemen agama.
Perbedaan penentuan awal Ramadhan maupun Idul Fitri, bagi
kalangan intelektual atau kaum terpelajar merupakan hal yang bisa dimaklumi,
bisa diterima dengan mudah, argumen yang dianut masing-masing dengan berbagai
tetek bengek penjelasan, dalil-dalil dan lain sebagainya itu. Akan tetapi, bagi
kalangan awam, yang justru merupakan mayoritas kaum muslim, seperti pedagang,
petani, nelayan, buruh, karyawan, perbedaan itu menjadi tanda tanya besar.
Perbedaan itu menjadi kebingungan dan ketidakmengertian, dan kesulitan
menentukan pilihan lebih-lebih masyarakat yang tidak memiliki affiliasi ke
ormas tertentu. Masyarakat yang fanatik atau yang menjadi anggota ormas, mudah
saja menentukan pilihan, misalnya anggota NU mengikuti keputusan NU, anggota
Muhammadiyah ikut keputusan Muhammadiyah disamping itu ada juga anggota suatu
jamiyah tertentu yang juga menentukan sendiri awal Ramadhan mennurut
perhitungan sendiri meskipun dilakukan secara diam-diam.
Benar, dalam Islam dikatakan bahwa perbedaan itu adalah
suatu rahmat, tetapi perbedaan semacam inikah yang disebut rahmat itu? Fenomena
perbedaan awal Ramadhan dan idhul Fitri sudah seringkali terjadi. Ingatan
penulis, semenjak reformasi perbedaan itu lebih banyak daripada kebersamaan.
Sekali lagi patut dipertanyakan, apakah perbedaan ini memang benar-benar murni
karena ketaatazasan memenuhi dan menjalankan perintah agama ataukah ada
dilandasi kepentingan politik, kepentingan golongan meski itu hanya sepercik
saja? Bukankah sebab nila setitik rusak susu sebelangga? Maka, jangan salahkan
masyarakat awam bila kepercayaan kepada pemerintah atau ormas makin berkurang.
Jangan salahkan masyarakat bila dikandang ayam berkokoh, di kandang kambing
mengembik.
Masa Orde Baru, setahu penulis tidak pernah terjadi
perbedaan itu. Bisa dipahami, masa pemerintahan yang cenderung militeristik itu
sangat tegas. Sesuatu yang dianggap bisa merugikan langsung dilibas.
Mengaca dari sejarah masa lalu ini mestinya reformasi dan
demokrasi di negeri ini sebaiknya berjalan perlahan-lahan. Masyarakat yang sudah
lama terkungkung dan terbiasa dengan pola pemerintahan Orde Baru, pastilah
memerlukan waktu untuk berubah, tidak serta merta ganti pemerintah berubahlah
segalanya 100 derajat. Reformasi dan demokrasi yang keblablasan, bisa
menjadikan empati dan simpati masyarakat berbelok arah. Bisa jadi masyarakat
akan rindu kembali pola pemerintahan orde baru, sebab jargon kebersamaan itu
indah pun masih tak lekang dari mindset masyarakat. Gotong royong sebagai
manifestasi dan implementasi kebersamaan itu rasanya tak akan bisa hilang dari
tradisi masyarakat kita. Dalam agama pun diajarkan bahwa sebaik-baik perkara
itu yang tengah-tengah, tidak terlalu kanan atau ke kiri. Nah, dengan demikian
dalam pemerintahan yang demokratis sekalipun sebenarnya ketegasan itu tetap diperlukan.
Sungguh ironi, sementara pemerintah dengan sidang ishbatnya
telah menentukan suatu keputusan, namun tidak bisa ditaati oleh masyarakatnya.
Inikah demokrasi itu? Semua terserah rakyat? Kalau begitu mengapa diadakan
sidang isbhat? Toh akhirnya sia-sia belaka. Dimana peran pemerintah? Bukankah
negara memiliki kewenangan untuk memaksa? Atau karena demokrasi maka pemerintah
menjadi tidak berwibawa? Atau karena hak asasi manusia? Atau karena demi
kepentingan kelompok tertentu? Atau karena sesuatu seperti lagunya Syahrini
itu? Atau karena.... dan berpuluh-puluh, beratus-ratus, berjuta-juta,
berttrilyun-trilyun alasan lainnya? Bukankah kita wajib menaati umaro'?Ya
inilah pertanyaan-pertanyaan masyarakat awam itu! Mereka bingung, bingung dan
bingung. Penjelasan tentang titik
derajat, hilal, azimut, dan tetek bengek lainnya tidak akan masuk ke akal
pikiran mereka. Mindset mereka kebersamaan itu indah. Mengapa kita masih saja
mengubur mimpi indah mereka?***
Minggu, 15 Juli 2012
Menjelang Ramadhan Harga Sembako Naik, Salahkan Siapa?
Oleh: M. Wahid Rosyidi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Memang seringkali kenaikan harga sembako yang selalu terjadi setiap tahun menjelang Ramadhan belum menunjukkan inflasi, namun seringkali pula kenaikan tersebut akan terus berlanjut karena setelah Ramadhan usai harga yang sudah naik cenderung tidak akan turun kembali. Dengan kata lain, terjadi proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu.
Sebenarnya kenaikan harga sembako setiap menjelang ramadhan lebih banyak bersifat psikologis. Masyarakat muslim Indonesia, terutama di Jawa, selalu melakukan budaya ‘megengan’ yakni selamatan baik dilakukan di musholla atau masjid maupun dibagi-bagikan kepada tetangga dan saudara. Siapa mau melarang orang melakukan selamatan? Tentu tidak ada. Apalagi konteks megengan ini sebagai bentuk penghormatan dan rasa senang akan datangnya bulan suci ramadhan. Apalagi agama mengajarkan akan mendapat pahala yang besar bagi siapa saja yang menghormati, menaruh rasa senang akan tibanya bulan ramadhan, bulan rahmat, bulan penuh ampunan. Maka, selamatan ‘megengan’ dipastikan akan menjadi budaya tetap tahunan. Nampaknya, harapan untuk mendapat pahala yang besar di bulan suci ramadhan dengan melakukan selamatan ‘megengan’ tanpa disadari telah memicu kenaikan harga.
Secara teoritis ada kenaikan harga sebenarnya yang penyebabnya adalah (1) Bertambahnya persediaan uang, (2.) Berkurangnya produktifitas, (3.Bertambahnya kemajuan aktivitas, dan (4) Berbagai pertimbangan fiskal dan moneter. Dan ada Kenaikan Harga Buatan. Berkurangnya barang dengan cara buatan yang diciptakan oleh para pengusaha serakah, mengakibatkan perubahan harga disebabkan oleh usaha spekulatif , penimbunan, perdagangan gelap, dan penyelundupan. Islam benar-benar mengutuk jenis kegiatan buatan dalam harga. Nabi SAW bersabda : “Orang yang menumpuk persediaan bahan pangan ketika kekurangan hal itu, (dengan maksud akan mendapatkan keuntungan), berdosa besar”. HR. Muslim
Dalam ekonomi bebas, permintaan dan suplai komoditi menentukan harga normal yang mengukur permintaan efektif yang ditentukan oleh tingkatan kelangkaan pemasokan dan pengadaan peningkatan permintaan suatu komoditi cenderung menaikkan harga, dan mendorong produsen memproduksi barang-barang itu lebih banyak. Masalah kenaikan harga timbul karena ketidaksesuaian antara permintaan dan suplai. Ketidaksesuaian ini terutama karena adanya persaingan yang tidak sempurna di pasar. Persaingan menjadi tidak sempurna apabila jumlah penjual dibatasi atau apabila ada perbedaan hasil produksi.
Sebenarnya, harga lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demond), Namun demikian, kecenderungan naiknya harga menjelang ramadhan dari tahun ke tahun menyebabkan nilai mata uang menurun. Apalagi nilai mata uang rupiah terhadap dollar sangat menyedihkan hampir menyentuh level Rp 10.000,-an
Maka wacana kebijakan renumerisasi nilai rupiah patut ditindaklanjuti. Langkah konkritnya pemerintah harus segera menerbitkan mata uang baru. Misalnya pecahan 5 rupiah uang baru memiliki nilai sama dengan uang 50.000 cetakan lama. Sehingga orang boleh bertransaksi dengan pecahan lama maupun yang baru. Secara perlahan uang lama ditarik setelah tergantikan oleh pecahan uang baru.
Selamat megengan, selamat berpuasa
Kamis, 24 Mei 2012
Menggugat Eksistensi Sekolah
by M. Wahid Rosyidi
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (atau "murid") di bawah pengawasan guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. (Wikipedia). Kata sekolah berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Namun, Saat ini, kata sekolah berubah arti menjadi: merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.
Peran sekolah sangatlah besar dan menjadi tumpuan bagi orang tua dalam
mendidik anak. Sekolah telah menjadi lembaga pendidikan sebagai media berbenah
diri dan membentuk nalar berfikir yang kuat. Di sekolah, anak belajar menata
dan membentuk karakter. Sekolah merupakan wahana yang mencerdaskan dan
memberikan perubahan kehidupan anak-anak didik. Dengan kata lain, sekolah mampu
memberikan warna baru bagi kehidupan anak ke depannya, sebab di sekolah mereka
ditempa untuk belajar berbicara, berfikir, dan bertindak. Yang jelas, sekolah
mendidik anak untuk menjadi dirinya sendiri. Sekolah bertanggung jawab
menanamkan pengetahuan-pengetahuan baru yang reformatif dan transformatif dalam
membangun bangsa yang maju dan berkualitas. Dengan demikian, peran sekolah
sangat besar dalam menentukan arah dan orientasi bangsa ke depan.
Lebih jauh lagi peran sekolah menjadi sangat signifikan bagi perkembangan
dan kemajuan suatu bangsa. Dengan sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk
menjadi seorang ahli yang sesuai dengan bidang dan bakatnya si anak didik, yang
berguna bagi dirinya, dan berguna bagi nusa dan bangsa. Dengan sekolah pula,
umat manusia yang berperadaban dan beragama mendidik anak-anaknya untuk menjadi
anak yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang tinggi
sebagai bekal untuk melanjutkan dan memperjuangkan agamanya.
Tak pelak lagi di era globalisasi sekarang ini, orang tua yang memiliki keterbatasan dalam mendidik anak-anaknya telah menyerahkan anak-anaknya kepada sekolah dengan maksud utama agar di sekolah itu anak-anak mereka menerima ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipergunakan sebagai bekal hidupnya kelak di kehidupan dunianya dan kehidupan akheratnya.
Padahal
Islam menganjurkan bahwa pendidikan anak yang utama dan pertama adalah dalam
keluarga. Pihak yang memiliki kewajiban pertama dan utama dalam mendidik anak
adalah orangtua. Hal ini tercermin dari hadist berikut ini: Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau
Majusi (HR a-Bukhari, Muslim, al-Baihaqi, an-Nasa'i, at Tirmidzi). Demikian
pula Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah memerintahkan kepada setiap orang beriman
untuk menjaga dirinya dan keluarganya termasuk anak-anaknya dari api neraka (QS
at-Tahrim [66]: 6).
Dengan
demikian sekolah adalah pelengkap proses pendidikan yang diberikan orangtua di
rumah. Dalam Islam, sekolah diperlukan untuk melahirkan para ahli ilmu
pengetahuan, para pemimpin mukhtis yang cerdas, para ahli ijtihad dan ahli
fikih, ahli teknik yang mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ahli ini
diperlukan oleh umat untuk kesejahteraan hidup dan kejayaan umat di mata dunia.
Karena itu, sekolah harus dibingkai dalam sistem pendidikan yang memiliki visi
dan misi untuk kesejahteraan dan kebangkitan umat.
Kerja Sama antara Keluarga dan Sekolah
Hasil pendidikan yang baik akan diperoleh jika ada kerjasama yang erat dan harmonis antara sekolah dan keluarga atau orang tua. Dengan adanya kerja sama itu, orang tua akan mendapatkan :
a. Pengetahuan dan pengalaman dari guru dalam hal mendidik anak-anaknya.
b. Mengetahui berbagai kesulitan yang sering dihadapi anak-anaknya di sekolah.
c. Mengetahui tingkah laku anaknya selama di sekolah, seperti apakah anaknya rajin, malas, suka membolos, suka mengantuk, nakal dan sebagainya.
Hasil pendidikan yang baik akan diperoleh jika ada kerjasama yang erat dan harmonis antara sekolah dan keluarga atau orang tua. Dengan adanya kerja sama itu, orang tua akan mendapatkan :
a. Pengetahuan dan pengalaman dari guru dalam hal mendidik anak-anaknya.
b. Mengetahui berbagai kesulitan yang sering dihadapi anak-anaknya di sekolah.
c. Mengetahui tingkah laku anaknya selama di sekolah, seperti apakah anaknya rajin, malas, suka membolos, suka mengantuk, nakal dan sebagainya.
Sedangkan bagi guru, dengan adanya kerja sama tersebut guru akan
mendapatkan :
a. Informasi-informasi dari orang tua tentang kehidupan dan sifat-sifat anaknya. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi guru dalam memberikan pendidikan sebagai anak didiknya.
b. Bantuan-bantuan dari orang tua dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi anak didiknya di sekolah.
a. Informasi-informasi dari orang tua tentang kehidupan dan sifat-sifat anaknya. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi guru dalam memberikan pendidikan sebagai anak didiknya.
b. Bantuan-bantuan dari orang tua dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi anak didiknya di sekolah.
Fungsi Sekolah
Sekolah merupakan wahana sosialisasi anak yang akan menentukan corak berfiki rdan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma yang diyakini dan dimiliki masyarakat. Pada gilirannya, kepribadian anak akan terbentuk sesuai dengan akar budayanya dengan kemampuan merespon perubahan di masyarakat. Di sekolah berlangsung proses sosialisasi anak melalui pendidikan. Guru menjadi transformer nilai-nilai budaya kepada semua anak didik untuk menjadi bagian dari masyarakat yang berbudaya. Pada intinya, sekolah memiliki fungsi pendidikan, peran sosial, indokrinasi, pemeiliharaan, dan aktivitas kemasyarakatan.
Sekolah merupakan wahana sosialisasi anak yang akan menentukan corak berfiki rdan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma yang diyakini dan dimiliki masyarakat. Pada gilirannya, kepribadian anak akan terbentuk sesuai dengan akar budayanya dengan kemampuan merespon perubahan di masyarakat. Di sekolah berlangsung proses sosialisasi anak melalui pendidikan. Guru menjadi transformer nilai-nilai budaya kepada semua anak didik untuk menjadi bagian dari masyarakat yang berbudaya. Pada intinya, sekolah memiliki fungsi pendidikan, peran sosial, indokrinasi, pemeiliharaan, dan aktivitas kemasyarakatan.
Lebih lanjut dijelaskan oleh (Mukhlison, 2008) bahwa
sekolah memiliki fungsi (a) Mempersiapkan anak untuki suatu pekerjaan, (b)
Memberikan ketrampilan dasar, (c)
Membuka kesempatan memperbaiki nasib, (d) Menyediakan tenaga
pembangunan, (e) Membentuk manusia sosial
Tantangan pendidikan era global
Pada abad ke 21 kencangnya arus globalisasi semakin terasa, menghantam
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Tofler, pada saat ini sedang
terjadi pergeseran kekuasaan (powershift) yang menggerogoti setiap pilar sistem
kekuasaan lama yang secara mendasar telah dan akan mengubah kehidupan keluarga,
bisnis, politik, negara-negara, dan struktur kekuasaan global itu sendiri.
Kekuatan, kekayaan, dan pengetahuan menjadi tiga dasar kekuasaan yang
mementukan kompetisi global.
Dalam era Informasi, eksistensi keluarga sebagai bagian dari masyarakat juga memberikan implikasi penting bagi sistem baru pendidikan. Menurut Reigeluth dan Garfinkel, model karakteristik masyarakat informasi tersebut antara lain :
a. Tujuan dan model berkisar pada proses pengorganisasian iptek mengenai informasi dan pengembangan pengetahuan.
b. Dasar kekuatannya adalah perluasan kekuatan kognitif dengan teknologi tinggi.
c. Paradigmanya adalah berfikir sistemik, munculnya hubungan sebab akibat (causality), kompleksitas yang dinamis, orientasi ekologi.
d. Berkembangnya teknologi; proses pengumpulan, pengorganisasian, penyimpanan informasi, jaringan komunikasi, sistem perencanaan dan rancangan.
e. Komoditi pokok; informasi dan pengetahuan sebagai kunci produk, manusia profesional dan pelayanan teknik adalah komoditi utamanya.
f. Pola konsumsi lebih kecil dan lebih efisien.
g. Karakteristik organisasi; terpadu, sinergi, perubahan, dan fleksibilitas.
Dalam era Informasi, eksistensi keluarga sebagai bagian dari masyarakat juga memberikan implikasi penting bagi sistem baru pendidikan. Menurut Reigeluth dan Garfinkel, model karakteristik masyarakat informasi tersebut antara lain :
a. Tujuan dan model berkisar pada proses pengorganisasian iptek mengenai informasi dan pengembangan pengetahuan.
b. Dasar kekuatannya adalah perluasan kekuatan kognitif dengan teknologi tinggi.
c. Paradigmanya adalah berfikir sistemik, munculnya hubungan sebab akibat (causality), kompleksitas yang dinamis, orientasi ekologi.
d. Berkembangnya teknologi; proses pengumpulan, pengorganisasian, penyimpanan informasi, jaringan komunikasi, sistem perencanaan dan rancangan.
e. Komoditi pokok; informasi dan pengetahuan sebagai kunci produk, manusia profesional dan pelayanan teknik adalah komoditi utamanya.
f. Pola konsumsi lebih kecil dan lebih efisien.
g. Karakteristik organisasi; terpadu, sinergi, perubahan, dan fleksibilitas.
Stoop (1981: 463-464) menjelaskan bahwa pada hakekatnya lembaga mempunyai 2
fungsi terhadap masyarakat yaitu fungsi layanan dan fungsi pemimpin. Dikatakan
fungsi layanan karena ia melayani kebutuhan masyarakat, baik itu pendidikan,
pengajaran maupun kebutuhan daerah-daerah setempat. Dikatakan sebagai pemimpin
karena ia memimpin masyarakat disertai dengan penemuan-penemuannya untuk
memajukan kehidupan masyarakat.
Fuad Ihsan (1997: 98-99) mengutip pendapatnya Sapiah Faisal (1980) dalam bukunya dasar-dasar kependidikan menyebutkan 4 peran sekolah terhadap perkembangan masyarakat adalah sebagai berikut;
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa
Kecerdasan masyarakat dapat dikembangkan melalui pendidikan formal dan non formal. Kecerdasan memang sangat penting bagi perkembangan masyarakat. Masyarakat yang tingkat kecerdasannya tinggi akan mudah memecahkan problema hidup dalam masyarakat.
b. Membawa virus pembaharuan bagi perkembangan masyarakat.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan akan banyak melakukan penelitian untuk meningkatkan kualitasnya. Penelitian tersebut akan menghasilkan penemuan-penemuan baru yang pada akhirnya akan dipergunakan untuk meningkatkan perkembangan masyarakat.
c. Melahirkan warga masyarakat yang siap dan terbekali bagi kepentingan kerja di lingkungan masyarakat.
Untuk terjun kelapangan pekerjaan diperlukan bekal yang matang, pengetahuan, sikap dan keterampilan. Sekolah akan berusaha menyusun kurikulumnya secara fleksibel terhadap perkembangan zaman sehingga akan menghasilkan out put yang siap pakai.
d. Melahirkan sikap positif dan konstruktif bagi warga masyarakat, sehingga tercipta integrasi social yang harmonis di tengah-tengah masyarakat.
Sikap positif dan konstruktif sungguh sangat didambakan oleh masyarakat dan sekolah telah berusaha membekali siswanya sejak sekolah dasar lewat pendidikan agama, pendidikan moral pancasila, maupun bidang studi yang lain.
Fuad Ihsan (1997: 98-99) mengutip pendapatnya Sapiah Faisal (1980) dalam bukunya dasar-dasar kependidikan menyebutkan 4 peran sekolah terhadap perkembangan masyarakat adalah sebagai berikut;
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa
Kecerdasan masyarakat dapat dikembangkan melalui pendidikan formal dan non formal. Kecerdasan memang sangat penting bagi perkembangan masyarakat. Masyarakat yang tingkat kecerdasannya tinggi akan mudah memecahkan problema hidup dalam masyarakat.
b. Membawa virus pembaharuan bagi perkembangan masyarakat.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan akan banyak melakukan penelitian untuk meningkatkan kualitasnya. Penelitian tersebut akan menghasilkan penemuan-penemuan baru yang pada akhirnya akan dipergunakan untuk meningkatkan perkembangan masyarakat.
c. Melahirkan warga masyarakat yang siap dan terbekali bagi kepentingan kerja di lingkungan masyarakat.
Untuk terjun kelapangan pekerjaan diperlukan bekal yang matang, pengetahuan, sikap dan keterampilan. Sekolah akan berusaha menyusun kurikulumnya secara fleksibel terhadap perkembangan zaman sehingga akan menghasilkan out put yang siap pakai.
d. Melahirkan sikap positif dan konstruktif bagi warga masyarakat, sehingga tercipta integrasi social yang harmonis di tengah-tengah masyarakat.
Sikap positif dan konstruktif sungguh sangat didambakan oleh masyarakat dan sekolah telah berusaha membekali siswanya sejak sekolah dasar lewat pendidikan agama, pendidikan moral pancasila, maupun bidang studi yang lain.
Namun dibalik fungsi dan peran sekolah yang demikian besar itu, ada
beberapa hal yang patut dipertanyakan. Pertama, proses pendidikan cenderung cognitif
oriented. Kecenderungan ini telah mengarahkan anak didik berperilaku hedonis,
konsumtif, hanya berfikir nilai ekonomis
belaka. Kedua, Munculnya persaingan
antar sekolah dalam ranah material. Sekolah berupaya mencari murid
sebanyak-banyaknya dengan perhitungan semakin banyak siswa akan semakin banyak
nilai profit yang diterima, apalagi banyaknya kucuran dana dari pemerintah baik
berupa BOS, BSM, Blogrant dan bantuan-bantuan lainnya. Sekolah memiliki
kecenderungan menyusun proposal untuk menerima bantuan, sementara aspek
kualitas masih berada diurutan berikutnya. Ketiga, Mengikisnya nilai-nilai
agama pada peserta didik. Transformasi pendidikan yang terjadi melalui
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi cenderung cognitif oriented
sehingga transformasi nilai pun terabaikan. Ketidakseimbangan tersebut dapat
menjadikan terkikisnya nilai-nilai agama pada peserta didik. Salah satu contoh
konkretnya misalnya pada kasus pengggunaan fasilitas Facebook. Facebook sebagai
alat jejaring sosial bisa dimanfaatkan sebagai media transformasi pengetahuan
dan sosial namun dalam penggunaannya banyak pemakainya yang mengabaikan waktu
solat, mengabaikan pekerjaan, mengabaikan belajar, dan mengabaikan kewajibannya
yang lain dan lebih mementingkan diri untuk ber-facebook ria. Tidak itu saja
media televisi, internet dan HP pun ikut andil dalam membentuk nilai moral bagi anak didik.
Kini eksistensi sekolah memang patut dipertanyakan,
sejauh manakah sekolah mampu memberikan tranformasi pengetahuan yang berbasis
religius sehingga di balik majunya teknologi informasi dan komunikasi, sekolah
mampu membekali siswa agar siswa memiliki filter dan kemampuan menyerap tradisi
budaya global sehingga tata nilai moral
dan budaya luhur bangsa serta nilai-nilai agama tetap menjadi acuan utama anak
didik dalam berperilaku sehari-hari. Sebuah tantangan yang sangat berat bagi
sekolah. Dengan demikian peran guru
menjadi sangat strategis, andaikan surga
ditangan kanan dan neraka di tangan kiri, maka guru harus bisa membawa siswa
meraih tangan kanan. Bukankah guru
kencing berdiri, murid kencing berlari? Semoga saja para guru diberi hidayahNya
sehingga mampu membimbing siswa meraih surga.***Selasa, 01 Mei 2012
Keutamaan Meninggalkan Perkara Haram
Oleh: M. Wahid Rosyidi
Takwa
adalah menunaikan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan dan meninggalkan
apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan. Jika bersamaan dengan itu terdapat
suatu amalan (sunnah), maka itu adalah
kebaikan di atas kebaikan. Menjauhi perkara-perkara yang haram meskipun sedikit adalah lebih utama daripada
memperbanyak amalan-amalan yang sifatnya sunnah. Karena meninggalkan
keharaman-keharaman adalah wajib, sedangkan amalan-amalan tersebut hukumnya
sunnah.”(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam).
Pernyataan
tersebut tentu bukan berarti kita tidak perlu melaksanakan yang sunnah. Kalimat
hikmah di atas, sesungguhnya lebih cocok bila dikorelasikan dengan perilaku
remaja masa kini, remaja era globalisasi, remaja yang kehilangan tali tradisi,
remaja yang mengagungkan kesenangan di atas segalanya. Perilaku muda-mudi
yang yang tak bisa lagi dibendung oleh
norma-norma tradisi, bahkan norma religi
pun bisa tumbang. Entahlah, apakah ini bagian dari zaman edannya Ronggowarsito,
atau tanda bahwa dunia memang sudah benar-benar tua. Kalau mau didata tentang perilaku negatif
remaja cukup banyak mulai dari penyalahgunaan obat terlarang, kekerasan
kelompok, pornografi, perilaku remaja dalam menjalin kasih, dan berbagai kenakalan remaja lainnya baik
bersifat kriminal maupun normatif.
Dalam
kaitannya menjalin kasih antara cowok dan cewek, kalau saya katakan bahwa saya
berani nembak cewek itu saat selesai kuliah dan sudah bekerja barangkali akan
ditertawai oleh anak-anak zaman sekarang, meskipun rasa cinta terhadap lawan
jenis sudah ada sejak saya kelas 1 SMP. Persoalan yang sebenarnya bukanlah
nembak ceweknya, tetapi bagaimana cara menjalin hubungan setelah pernyataan
cinta itu saling berbalas, dalam hal ini sekarang lebih populer disebut pacaran.
Pacaran
boleh saja dianggap lumrah, tetapi yg penting bisa menjaga nilai-nilai adat
ketimuran maupun nilai-nilai agama. Lha ini kan yang susah, kalau nilai agama
itu diterapkan dalam berpacaran ya namanya mungkin bukan pacaran lagi kan?
Sebab pacaran kan identik dengan berduaan, entah di pantai, di mall, di
berbagai tempat hiburan.
Yang
sangat menyedihkan bila pacaran dilakukan di sekolah. Bagaimana ini bisa
terjadi? Ya bisa saja, lha pacarnya teman sekelas. Repotnya, teman-temannya
yang mengetahui hal ini justru memberikan toleransi yang sangat tinggi,
akibatnya banyak kesempatan yang bisa dilakukan keduanya. Masyaallah, ini
sebenarnya racun, tetapi mengapa kita membiarkannya? Malah menoleransikannya,
semakin banggakah kita dengan perilaku haram?
Sebagai
seorang guru saya menaruh keprihatinan yang mendalam terhadap perilaku berpacaran di sekolah.
Sekolah seharusnya menjadi tempat penyematan tata nilai kebaikan kepada siswa,
tetapi sudah dicemari dan tercoreng dengan perilaku yang jauh dari nilai edukatif.
Perilaku yang hanya memuja kesenangan diatas segalanya, perilaku hedonis.
Tentu
saja meletakkan kesalahan hanya kepada siswa sangatlah tidak bijak, sebab
berbagai media baik cetak maupun elektronik, media internet termasuk lagu-lagu
yang demikian populer dan dihafal siswa umumnya mendukung perilaku ‘menyimpang’ ini. Dulu Anggun C. Sasmi
yang sekarang sudah menjadi penyanyi internasional, melantunkan lagu Takut yang intinya seorang remaja apalagi masih
sekolah tidak patut dan tidak pantas berpacaran, demikian pula Crisye lewat
lagu Anak Sekolah menampilkan cerita
yang sama tentang belum pantasnya remaja sekolah berpacaran. Ini berbeda dengan
lagunya Blink Takut Jatuh Cinta atau Putih Abu-Abu yang sekarang mulai
populer, cenderung mengeksploitasi cinta remaja, terlebih lagi lagu bergenre
dangdut Hamil Duluan jelas
menampilkan kemaksiatan penuh dengan keriangan.
Juga lagu Iwak Peyek versi
bahasa Jawa yang jelas melanggar norma kepatutan karena syairnya yang terlalu
vulgar dan tidak pantas secara normatif, tetapi justru menjadi populer. Memang
aneh kan?
Dalam
kaitan yang lebih luas perilaku korupsi, suap, money politic, dan segala bentuk
kejahatan dan kemaksiatan semestinya bisa diminimalisir apabila meninggalkan
yang haram menjadi bagian dari lebih dikedepankan daripada sekedar menjalankan
yang sunnah, meski yang sunah akan lebih baik jika dilakukan.
Sudah
seharusnya keutamaan meninggalkan yang haram
menjadi nafas hati kita. Sehingga
setiap kali kita akan melakukan perkara yang haram, kita bisa sabar dan mampu
meninggalkannya. Semoga. Amin.
Minggu, 08 April 2012
Distorsi Pluralisme, Memahami Pluralisme Sebagai Keberagaman Sosial
Distorsi Pluralisme,
Memahami Pluralisme Sebagai Keberagaman Sosial
Oleh M. Wahid
Rosyidi *)
Pada umumnya
masyarakat memahami pluralisme sebagai keberagaman, dan bagaimana bertoleransi
supaya tetap rukun. Namun, entah bagaimana, muncul definisi pluralisme lain, yaitu
memaknai. Pluralisme sebagai penyamaan, sehingga
bila diimplementasikan dalam dunia religius menjadi semua agama itu sama. Lebih
ekstrim lagi, ada yang memaknai bahwa pluralisme meyakini semua agama itu bisa
disamakan, Tuhan tiap agama sebetulnya sama, dan pada esensinya semua orang
akan ke akhir yang sama. Nah, jadi kacaukan?
Perbedaan
dalam memaknai pluralisme akhirnya membawa kepada pertengkaran yang sebetulnya
tidak perlu. Satu memperjuangkan toleransi, satu membela kemurnian. Dengan
demikian menjadi jelaslah bahwa inti polemik selama ini terletak pada perbedaan
pemaknaan kata pluralisme itu sendiri.
Pertentangan
yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa.
Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi (keberagaman)
akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi (penyamaan).
Kenyataan di
atas membuat kita menjadi mafhum bila ada yang antipati menolak pluralisme. Orang-orang itu bukan
menolak ada agama lain di Indonesia, mereka menolak agamanya disatukan. Sehingga
pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram pluralisme.
Dalam fatwa
tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek
persoalan yang ditanggapi) dalam arti "suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah
relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa
hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di
surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, yakni penyamaan
agama, maka jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Bagi pegiat
wacana pluralisme dalam arti keberagaman, mereka memandang pluralisme adalah
sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu kemanusiaan, yakni keragaman,
heterogenitas dan kemajemukan itu sendiri.oleh karena itu, ketika disebut
pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu,
komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus
diterima dan dipelihara.dalam pluralisme keberadaan diakui adanya, dan
karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk homogenitas, kesatuan,
tunggal, mono dan ika. Keanekaragaman agama akan menjadi kekuatan bangsa
manakala agama-agama mampu hidup berdampingan secara menyenangkan di sebuah
negara.
Namun bagi
mereka yang memaknai pluralisme sebagai penyamaan begitu mencurigai akan bahaya
pluralisme, mereka menilai bahwa pluralisme merupakan proyek Barat. Proses
liberalisme sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern,
semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca:
penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus
membuka diri untuk diliberalisasikan.
Wilayah
yuridiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikkan sedemikian
rupa. Hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan
saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan
mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM (Hak Asasi Manusia). Oleh
karenanya harus mendekontruksikan diri (atau didekontruksikan secara paksa)
agar menuruti bahas kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks
dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman.
Proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang
pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”. Liberalisasi agama harus
bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama
pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang
menyebutnya sebagai pluralisme agama..
Paham
liberalisasi pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya,
wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama.
Juga lebih kental dengan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme
agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political
pluralism), yang merupakan produk dari leberalisme politik (politic
liberalism). Jelas, leberalisme tidak lebih merupakan respon politis
terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman
sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi semacam ini masih terbatas dalam
masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh
berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia
Di
Indonesia, pluralisme terutama yang terkait dengan agama selalu berada dalam
posisi problematis. Siapa pun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman
di Indonesia. Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat
lama. Menurut salah satu teori sejarah, Islam datang ke bumi Nusantara pada
abad ke-7 M. Artinya, Islam telah menghiasi negeri ini melewati satu milenium.
Tetapi Islam tidak memasuki ruang hampa. Jauh sebelum datangnya Islam,
masyarakat Nusantara telah terpola ke dalam berbagai agama dan kepercayaan.
Tidak hanya Islam, agama-agama lainnya pun berdatangan. Dalam versi negara,
pada saat ini ada enam agama yang diakui eksistensinya, yaitu: Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Salah
satu sisi problematis dari keragaman tersebut adalah adanya potensi konflik.
Tentu ini terasa aneh, karena ajaran agama mana pun selalu menekankan pada
kesamaan dan kesetaraan manusia. Ini merupakan visi perenial semua agama.
Potensi
konflik dalam keragaman agama dengan demikian berada di luar wilayah perenial
agama, tetapi lebih banyak terjadi pada wilayah konstruksi sosial. Mengapa
wilayah ini rentan konflik? Konstruksi merupakan modus yang dikembangkan oleh
seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang meniscayakan pada suatu
modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang terdapatdalam doktrin agama bisa
dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Al-Qur’an, Injil, dan kitab-kitab
lainnya, sebagai kodifikasi firman Tuhan, tentu akan banyak menghadapi
kesulitan aktualisasi jika tidak dijembati dengan pemahaman manusia.
Menurut
Hasyim Muzadi, pluralisme yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama di Indonesia
adalah pluralisme sosiologis bukan plurarisme teologis. Pluralisme teologis justru
merugikan teologi semua agama. Tidak ada keimanan atau keyakinan “tahu campur”
dalam agama. Konsep pluralisme mengemuka menyusul meninggalnya KH Abdurrahman
Wahid yang disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak
Pluralisme.
Menurut
Hasyim, masalah teologi dan ritual (transenden) adalah hak original agama
masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar. Sehingga doa bersama lintas
agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekedar tempat dan
waktu yang bersamaan.
Sedangkan
pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan “umat” beragama dalam komunitas
keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika atau unity
and diversity, karena setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada
ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu.
Indonesia
sebagi bangsa yang majemuk, kaya akan khazanah sosial, kebudayaan menyimpan
potensi lebih. Sebuah kesepakatan umat Islam untuk hidup dalam sebuah negara
yang tidak akan pernah didasarkan pada pengakuan formal atas Islam sebagai yang
‘terbaik’ secara objektif atau pelayanan pemerintah yang terlalu berlebihan
dari pada agama-agama lain.
Bagi
masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi pembangunan dalam segala bidang,
mewujudkan toleransi itu mendesak dengan banyak memberikan penjelasan akan
ajaran-ajaran agama yang menekankan toleransi. Dengan begitu jiwa toleransi
beragama dapat dipupuk dikalangan pemeluk masing-masing agama. Dalam catatan
hasil, kemajemukan atau pluralitas bangsa ini sebenarnya memperlihatkan
pengalaman empirik. Karena prinsip pluralisme sebagai paham yang menghargai
eksistensi perbedaan manusia kemudian diakui dan dilestarikan dalam bentuk
semboyan negara kita, yakni bhineka tunggal ika, yang secara implisit
mengandung penegasan bahwa perbedaan adalah khazanah nasional yang semestinya
bukan untuk dimusuhi atau diseragamkan, tetapi harus dsatukan agar tidak
menjadi kekuatan yang tercerai berai.
Selain
itu, harus diakui bahwa agama juga merupakan salah satu faktor potensial yang
menyulitkan tegaknya pluralisme. Sebagai ajaran yang diyakini membawa
nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebersamaan, kesalehan, dan lain
sebagainya. Agama pada dasarnya menghendaki adanya cinta kasih diantara sesama
manusia tanpa mempertimbangkan perbedaan latar belakang identitas atau predikat
yang disandang. Menurut akal sehat, tidak akan ada satupun agama yang
menghalalkan permusuhan karena suatu perbedaan selama semua pihak saling
menghormati satu sama lain dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing.
Dalam
perspektif Islam, perbedaan pada hakikatnya bukanlah suatu masalah yang serius
karena merupakan garis ketentuan Allah. Dalam hal ini Islam secara tegas
menjamin hak-hak dasar kemanusiaan yaitu apa yang menjadi tujuan diturunkannya
syariat (maqasid asy-syari’ah) yang meliputi jaminan atas: Pertama,
kebebasan agama atau mempertahankan keyakinan, yang berarti syariat
diturunkan bertujuan untuk melindungi agama dan keyakinan setiap orang (hifz
ad-din). Kedua, keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan diluar ketentuan
hukum (hifz an-nafs). Ketiga, keselamatan atau kelangsungan hidup
keturunan atau keluarga (hifz an-nasl). Keempat, keamanan harta benda
atau hak milik pribadi (hifzu an-mal). Dan kelima, kebebasan
berpendapat dan berekspresi (hifu al-‘aql). Menurut pandangan Hasyim
Muzadi, keharusan menjaga prinsip pluralisme tersebut tidak hanya dalam aspek
norma-norma keagamaan, tapi juga dari tinjauan sosiologis. Argumen ini
didasarkan pada fakta sejarah bahwa berdasarkan pengalaman di Indonesia,
toleransi dan kerukunan hidup beragama berjalan cukup baik. Islam yang masuk ke
Indonesia bercorak sangat akomodatif terhadap budaya lokal, termasuk
kepercayaan-kepercayaan sehingga mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks.
Pluralisme
sosiologis adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam
bertindak mensyaratkan seseorang untuk tidak membatasi pergaulan dengan orang
lain (eksklusif) meskipun berbeda keyakinan. Pluralisme dalam berpikir
adalah kesediaan untuk menerima atau mengambil gagasan dari kalangan lain. Pada
gilirannya pluralisme ini akan melahirkan sikap toleran terhadap yang lain.
Sikap ini amat penting ditetapkan dalam pergaulan sosial seperti di Indonesia. Sikap
pluralistik tersebut merupakan modal sosial untuk hidup bersama dalam keragaman
sosial, budaya, politik, dan agama secara damai dan beradab.
Barangkali
perlu dikemukakan kembali pengertian pluralisme yang sudah demikian
terdistorsi. Pengertian pluralisme sebagai keseragaman/penyamaan dan pengertian
pluralisme sebagai keberagaman. Justru disinilah letak masalah krusialnya.
Kesalahan pemahaman istilah sehingga menibulkan konflik yang berkepanjangan.
Untuk itu, seharunya perlu dibuka forum guna menyamakan persepsi dan
menyepakati istilah yang bermakna sama. Dengan demikian segala sengketa dan
silang pendapat bisa segera diakhiri.
*(dirangkum dari berbagai sumber)
Langganan:
Postingan (Atom)