Kamis, 13 Desember 2012

Menjadikan Internet Download Manager Full Version

Saya yakin, para netter pasti sudah kenal dan familier betul dengan program Internet Download Manager (IDM). Untuk urusan download IDM menduduki posisi paling atas dalam akurasi maupun kecepatannya. Ini sepanjang yang saya tau lho, tapi memang saya dah buktiin sendiri. Pernah saya download film Hindi yang ukurannya mencapai hampir 1GB, seharian deh downloadnya, putus nyambung tapi sukses. Apalagi ukuran di bawah itu, dijamin lancar-lancar aja.
Penggemar berat Youtube kalau mau download asal sudah diinstall IDM gak perlu lagi program pengaya atau Add On untuk mendownloadnya, karena diposisi pojok kanan atas layar, dah nongkrong tuh tulisan download pake idm yang tinggal klik aja.

 Namun, sayangnya program ini berbayar. Jadi ya mesti beli! Saya sarankan bila Anda berkecukupan beli saja melalui situs resminya. Ini kan demi hak cipta dan pengembangan program tersebut ke depan. Cuma urusannya kan agak repot buat orang semacam saya yang gak punya kartu kredit. Jadi ya pakai aja versi gratisnya alias trial yang hanya berlaku selama 30 hari saja. Akan tetapi dengan sedikit trik, program yang semula trial ini akan menjadi gratis tis alias gk perlu bayar alias full version. IDM yang trial bisa jadi full version hehehe bisa hemat fulus kan?

Yang perlu diperhatikan:
1. Setiap kali install maupun buka IDM pastikan posisi koneksi ke internet off alias putus
2. Kalau muncul peringatan seperti gambar di bawah klik OK aja

3. Lalu muncul pilihan untuk registrasi:
*  isi sembarang nama pada first name
*  isi sembarang nama pada last name
*  isi dengan email anda yang masih berlaku / valid
*  isi serial number berikut ini: I23LZ-H5C2I-QYWRT-RZ2BO

4. klik OK, apabila muncul peringatan ....
5. klik OK lagi
6. Kini jalankan IDM (pastikan koneksi masih off)
7. Kalau muncul lagi seperti gbr 2 di atas lakukan sekali lagi langkah di atas
8. Setelah IDM sudah jalan, kini koneksikan kembali internet Anda
Catatan:
Apabila keesokan hari Anda buka idm muncul lagi fake serial number, lakukan lagi langkah di atas. pengalaman q sih cuma registrai 2x setelah itu sampai sekarang gk pernah muncul fake serial number, jadi sdh benar2 full version. selamat mencoba, bila belum berhasil bisa kontak saya.





Rabu, 08 Agustus 2012

KEBERSAMAAN YANG DIDAMBAKAN DAN YANG TERABAIKAN


oleh: M. Wahid Rosyidi

Penetapan awal ramadhan 2012 atau 1433 H kembali terjadi perbedaan, dan dimungkinkan penetapan Idhul Fitri pun akan terjadi perbedaan kembali. Muhammadiyah dan FPI menetapkan awal Ramadhan sehari lebih dulu daripada keputusan pemerintah yang juga didukung oleh NU dan berbagai ormas muslim lain melalui sidang ishbat departemen agama.
Perbedaan penentuan awal Ramadhan maupun Idul Fitri, bagi kalangan intelektual atau kaum terpelajar merupakan hal yang bisa dimaklumi, bisa diterima dengan mudah, argumen yang dianut masing-masing dengan berbagai tetek bengek penjelasan, dalil-dalil dan lain sebagainya itu. Akan tetapi, bagi kalangan awam, yang justru merupakan mayoritas kaum muslim, seperti pedagang, petani, nelayan, buruh, karyawan, perbedaan itu menjadi tanda tanya besar. Perbedaan itu menjadi kebingungan dan ketidakmengertian, dan kesulitan menentukan pilihan lebih-lebih masyarakat yang tidak memiliki affiliasi ke ormas tertentu. Masyarakat yang fanatik atau yang menjadi anggota ormas, mudah saja menentukan pilihan, misalnya anggota NU mengikuti keputusan NU, anggota Muhammadiyah ikut keputusan Muhammadiyah disamping itu ada juga anggota suatu jamiyah tertentu yang juga menentukan sendiri awal Ramadhan mennurut perhitungan sendiri meskipun dilakukan secara diam-diam.

Benar, dalam Islam dikatakan bahwa perbedaan itu adalah suatu rahmat, tetapi perbedaan semacam inikah yang disebut rahmat itu? Fenomena perbedaan awal Ramadhan dan idhul Fitri sudah seringkali terjadi. Ingatan penulis, semenjak reformasi perbedaan itu lebih banyak daripada kebersamaan. Sekali lagi patut dipertanyakan, apakah perbedaan ini memang benar-benar murni karena ketaatazasan memenuhi dan menjalankan perintah agama ataukah ada dilandasi kepentingan politik, kepentingan golongan meski itu hanya sepercik saja? Bukankah sebab nila setitik rusak susu sebelangga? Maka, jangan salahkan masyarakat awam bila kepercayaan kepada pemerintah atau ormas makin berkurang. Jangan salahkan masyarakat bila dikandang ayam berkokoh, di kandang kambing mengembik.
Masa Orde Baru, setahu penulis tidak pernah terjadi perbedaan itu. Bisa dipahami, masa pemerintahan yang cenderung militeristik itu sangat tegas. Sesuatu yang dianggap bisa merugikan langsung dilibas.

Mengaca dari sejarah masa lalu ini mestinya reformasi dan demokrasi di negeri ini sebaiknya berjalan perlahan-lahan. Masyarakat yang sudah lama terkungkung dan terbiasa dengan pola pemerintahan Orde Baru, pastilah memerlukan waktu untuk berubah, tidak serta merta ganti pemerintah berubahlah segalanya 100 derajat. Reformasi dan demokrasi yang keblablasan, bisa menjadikan empati dan simpati masyarakat berbelok arah. Bisa jadi masyarakat akan rindu kembali pola pemerintahan orde baru, sebab jargon kebersamaan itu indah pun masih tak lekang dari mindset masyarakat. Gotong royong sebagai manifestasi dan implementasi kebersamaan itu rasanya tak akan bisa hilang dari tradisi masyarakat kita. Dalam agama pun diajarkan bahwa sebaik-baik perkara itu yang tengah-tengah, tidak terlalu kanan atau ke kiri. Nah, dengan demikian dalam pemerintahan yang demokratis sekalipun sebenarnya ketegasan itu tetap diperlukan.

Sungguh ironi, sementara pemerintah dengan sidang ishbatnya telah menentukan suatu keputusan, namun tidak bisa ditaati oleh masyarakatnya. Inikah demokrasi itu? Semua terserah rakyat? Kalau begitu mengapa diadakan sidang isbhat? Toh akhirnya sia-sia belaka. Dimana peran pemerintah? Bukankah negara memiliki kewenangan untuk memaksa? Atau karena demokrasi maka pemerintah menjadi tidak berwibawa? Atau karena hak asasi manusia? Atau karena demi kepentingan kelompok tertentu? Atau karena sesuatu seperti lagunya Syahrini itu? Atau karena.... dan berpuluh-puluh, beratus-ratus, berjuta-juta, berttrilyun-trilyun alasan lainnya? Bukankah kita wajib menaati umaro'?Ya inilah pertanyaan-pertanyaan masyarakat awam itu! Mereka bingung, bingung dan bingung.  Penjelasan tentang titik derajat, hilal, azimut, dan tetek bengek lainnya tidak akan masuk ke akal pikiran mereka. Mindset mereka kebersamaan itu indah. Mengapa kita masih saja mengubur mimpi indah mereka?***

Minggu, 15 Juli 2012

Menjelang Ramadhan Harga Sembako Naik, Salahkan Siapa?

Oleh: M. Wahid Rosyidi

Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Memang seringkali  kenaikan harga sembako  yang selalu terjadi setiap tahun menjelang Ramadhan belum menunjukkan inflasi, namun seringkali pula kenaikan tersebut akan terus berlanjut karena setelah Ramadhan usai harga yang sudah naik cenderung tidak akan turun kembali. Dengan kata lain, terjadi proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu.
Sebenarnya kenaikan harga sembako  setiap menjelang ramadhan lebih banyak bersifat psikologis. Masyarakat muslim Indonesia, terutama di Jawa, selalu melakukan budaya ‘megengan’ yakni selamatan baik dilakukan di musholla atau masjid maupun dibagi-bagikan kepada tetangga dan saudara.  Siapa mau melarang orang melakukan selamatan? Tentu tidak ada. Apalagi konteks megengan ini sebagai bentuk penghormatan dan rasa senang akan datangnya bulan suci ramadhan. Apalagi agama mengajarkan akan mendapat pahala yang besar bagi siapa saja yang menghormati, menaruh rasa senang akan tibanya bulan ramadhan, bulan rahmat, bulan penuh ampunan. Maka, selamatan ‘megengan’  dipastikan akan menjadi budaya tetap tahunan. Nampaknya, harapan untuk mendapat pahala yang besar di bulan suci ramadhan dengan melakukan selamatan ‘megengan’ tanpa disadari telah memicu kenaikan harga.
Secara teoritis ada kenaikan harga sebenarnya yang penyebabnya adalah (1) Bertambahnya persediaan uang,  (2.) Berkurangnya produktifitas, (3.Bertambahnya kemajuan aktivitas, dan (4) Berbagai pertimbangan fiskal dan moneter. Dan ada Kenaikan Harga Buatan. Berkurangnya barang dengan cara buatan yang diciptakan oleh para pengusaha serakah, mengakibatkan perubahan harga disebabkan oleh usaha spekulatif , penimbunan, perdagangan gelap, dan penyelundupan. Islam benar-benar mengutuk jenis kegiatan buatan dalam harga. Nabi SAW bersabda : “Orang yang menumpuk persediaan bahan pangan ketika kekurangan hal itu, (dengan maksud akan mendapatkan keuntungan), berdosa besar”. HR. Muslim

Dalam ekonomi bebas,  permintaan dan suplai komoditi menentukan harga normal yang mengukur permintaan efektif yang ditentukan oleh tingkatan kelangkaan pemasokan dan pengadaan peningkatan permintaan suatu komoditi cenderung menaikkan harga, dan mendorong produsen memproduksi barang-barang itu lebih banyak. Masalah kenaikan harga timbul karena ketidaksesuaian antara permintaan dan suplai. Ketidaksesuaian ini terutama karena adanya persaingan yang tidak sempurna di pasar. Persaingan menjadi tidak sempurna apabila jumlah penjual dibatasi atau apabila ada perbedaan hasil produksi.

Sebenarnya, harga lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demond), Namun demikian, kecenderungan naiknya harga menjelang ramadhan dari tahun ke tahun menyebabkan nilai mata uang menurun. Apalagi nilai mata uang rupiah terhadap dollar sangat menyedihkan hampir menyentuh level Rp 10.000,-an
Maka wacana kebijakan renumerisasi nilai rupiah patut ditindaklanjuti. Langkah konkritnya pemerintah harus segera menerbitkan mata uang baru. Misalnya pecahan 5 rupiah uang baru memiliki nilai sama dengan uang 50.000 cetakan lama. Sehingga orang boleh bertransaksi dengan pecahan lama maupun yang baru. Secara perlahan uang lama ditarik setelah tergantikan oleh pecahan uang baru.
Selamat megengan, selamat berpuasa

Kamis, 24 Mei 2012

Menggugat Eksistensi Sekolah


by M. Wahid Rosyidi
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (atau "murid") di bawah pengawasan guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. (Wikipedia). Kata sekolah berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Namun, Saat ini, kata sekolah berubah arti menjadi: merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.
Peran sekolah sangatlah besar dan menjadi tumpuan bagi orang tua dalam mendidik anak. Sekolah telah menjadi lembaga pendidikan sebagai media berbenah diri dan membentuk nalar berfikir yang kuat. Di sekolah, anak belajar menata dan membentuk karakter. Sekolah merupakan wahana yang mencerdaskan dan memberikan perubahan kehidupan anak-anak didik. Dengan kata lain, sekolah mampu memberikan warna baru bagi kehidupan anak ke depannya, sebab di sekolah mereka ditempa untuk belajar berbicara, berfikir, dan bertindak. Yang jelas, sekolah mendidik anak untuk menjadi dirinya sendiri. Sekolah bertanggung jawab menanamkan pengetahuan-pengetahuan baru yang reformatif dan transformatif dalam membangun bangsa yang maju dan berkualitas. Dengan demikian, peran sekolah sangat besar dalam menentukan arah dan orientasi bangsa ke depan.

Lebih jauh lagi peran sekolah menjadi sangat signifikan bagi perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Dengan sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk menjadi seorang ahli yang sesuai dengan bidang dan bakatnya si anak didik, yang berguna bagi dirinya, dan berguna bagi nusa dan bangsa. Dengan sekolah pula, umat manusia yang berperadaban dan beragama mendidik anak-anaknya untuk menjadi anak yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang tinggi sebagai bekal untuk melanjutkan dan memperjuangkan agamanya.

Tak pelak lagi di era globalisasi sekarang ini, orang tua yang memiliki keterbatasan dalam mendidik anak-anaknya telah menyerahkan anak-anaknya kepada sekolah dengan maksud utama agar di sekolah itu anak-anak mereka menerima ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipergunakan sebagai bekal hidupnya kelak di kehidupan dunianya dan kehidupan akheratnya.

Padahal Islam menganjurkan bahwa pendidikan anak yang utama dan pertama adalah dalam keluarga. Pihak yang memiliki kewajiban pertama dan utama dalam mendidik anak adalah orangtua. Hal ini tercermin dari hadist berikut ini: Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR a-Bukhari, Muslim, al-Baihaqi, an-Nasa'i, at Tirmidzi). Demikian pula Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah memerintahkan kepada setiap orang beriman untuk menjaga dirinya dan keluarganya termasuk anak-anaknya dari api neraka (QS at-Tahrim [66]: 6).

Dengan demikian sekolah adalah pelengkap proses pendidikan yang diberikan orangtua di rumah. Dalam Islam, sekolah diperlukan untuk melahirkan para ahli ilmu pengetahuan, para pemimpin mukhtis yang cerdas, para ahli ijtihad dan ahli fikih, ahli teknik yang mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ahli ini diperlukan oleh umat untuk kesejahteraan hidup dan kejayaan umat di mata dunia. Karena itu, sekolah harus dibingkai dalam sistem pendidikan yang memiliki visi dan misi untuk kesejahteraan dan kebangkitan umat.

Kerja Sama antara Keluarga dan Sekolah
Hasil pendidikan yang baik akan diperoleh jika ada kerjasama yang erat dan harmonis antara sekolah dan keluarga atau orang tua. Dengan adanya kerja sama itu, orang tua akan mendapatkan :
a. Pengetahuan dan pengalaman dari guru dalam hal mendidik anak-anaknya.
b. Mengetahui berbagai kesulitan yang sering dihadapi anak-anaknya di sekolah.
c. Mengetahui tingkah laku anaknya selama di sekolah, seperti apakah anaknya rajin, malas, suka membolos, suka mengantuk, nakal dan sebagainya.

Sedangkan bagi guru, dengan adanya kerja sama tersebut guru akan mendapatkan :
a. Informasi-informasi dari orang tua tentang kehidupan dan sifat-sifat anaknya. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi guru dalam memberikan pendidikan sebagai anak didiknya.
b. Bantuan-bantuan dari orang tua dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi anak didiknya di sekolah.

Fungsi Sekolah
Sekolah merupakan wahana sosialisasi anak yang akan menentukan corak berfiki rdan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma yang diyakini dan dimiliki masyarakat. Pada gilirannya, kepribadian anak akan terbentuk sesuai dengan akar budayanya dengan kemampuan merespon perubahan di masyarakat. Di sekolah berlangsung proses sosialisasi anak melalui pendidikan. Guru menjadi transformer nilai-nilai budaya kepada semua anak didik untuk menjadi bagian dari masyarakat yang berbudaya. Pada intinya, sekolah memiliki fungsi pendidikan, peran sosial, indokrinasi, pemeiliharaan, dan aktivitas kemasyarakatan.

Lebih lanjut dijelaskan oleh (Mukhlison, 2008) bahwa sekolah memiliki fungsi (a) Mempersiapkan anak untuki suatu pekerjaan, (b) Memberikan ketrampilan dasar, (c)  Membuka kesempatan memperbaiki nasib, (d) Menyediakan tenaga pembangunan, (e) Membentuk manusia sosial

Tantangan pendidikan era global
Pada abad ke 21 kencangnya arus globalisasi semakin terasa, menghantam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Tofler, pada saat ini sedang terjadi pergeseran kekuasaan (powershift) yang menggerogoti setiap pilar sistem kekuasaan lama yang secara mendasar telah dan akan mengubah kehidupan keluarga, bisnis, politik, negara-negara, dan struktur kekuasaan global itu sendiri. Kekuatan, kekayaan, dan pengetahuan menjadi tiga dasar kekuasaan yang mementukan kompetisi global.
Dalam era Informasi, eksistensi keluarga sebagai bagian dari masyarakat juga memberikan implikasi penting bagi sistem baru pendidikan. Menurut Reigeluth dan Garfinkel, model karakteristik masyarakat informasi tersebut antara lain :
a. Tujuan dan model berkisar pada proses pengorganisasian iptek mengenai informasi dan pengembangan pengetahuan.
b. Dasar kekuatannya adalah perluasan kekuatan kognitif dengan teknologi tinggi.
c. Paradigmanya adalah berfikir sistemik, munculnya hubungan sebab akibat (causality), kompleksitas yang dinamis, orientasi ekologi.
d. Berkembangnya teknologi; proses pengumpulan, pengorganisasian, penyimpanan informasi, jaringan komunikasi, sistem perencanaan dan rancangan.
e. Komoditi pokok; informasi dan pengetahuan sebagai kunci produk, manusia profesional dan pelayanan teknik adalah komoditi utamanya.
f. Pola konsumsi lebih kecil dan lebih efisien.
g. Karakteristik organisasi; terpadu, sinergi, perubahan, dan fleksibilitas.

Stoop (1981: 463-464) menjelaskan bahwa pada hakekatnya lembaga mempunyai 2 fungsi terhadap masyarakat yaitu fungsi layanan dan fungsi pemimpin. Dikatakan fungsi layanan karena ia melayani kebutuhan masyarakat, baik itu pendidikan, pengajaran maupun kebutuhan daerah-daerah setempat. Dikatakan sebagai pemimpin karena ia memimpin masyarakat disertai dengan penemuan-penemuannya untuk memajukan kehidupan masyarakat.

Fuad Ihsan (1997: 98-99) mengutip pendapatnya Sapiah Faisal (1980) dalam bukunya dasar-dasar kependidikan menyebutkan 4 peran sekolah terhadap perkembangan masyarakat adalah sebagai berikut;
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa
Kecerdasan masyarakat dapat dikembangkan melalui pendidikan formal dan non formal. Kecerdasan memang sangat penting bagi perkembangan masyarakat. Masyarakat yang tingkat kecerdasannya tinggi akan mudah memecahkan problema hidup dalam masyarakat.
b. Membawa virus pembaharuan bagi perkembangan masyarakat.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan akan banyak melakukan penelitian untuk meningkatkan kualitasnya. Penelitian tersebut akan menghasilkan penemuan-penemuan baru yang pada akhirnya akan dipergunakan untuk meningkatkan perkembangan masyarakat.
c. Melahirkan warga masyarakat yang siap dan terbekali bagi kepentingan kerja di lingkungan masyarakat.
Untuk terjun kelapangan pekerjaan diperlukan bekal yang matang, pengetahuan, sikap dan keterampilan. Sekolah akan berusaha menyusun kurikulumnya secara fleksibel terhadap perkembangan zaman sehingga akan menghasilkan out put yang siap pakai.
d. Melahirkan sikap positif dan konstruktif bagi warga masyarakat, sehingga tercipta integrasi social yang harmonis di tengah-tengah masyarakat.
Sikap positif dan konstruktif sungguh sangat didambakan oleh masyarakat dan sekolah telah berusaha membekali siswanya sejak sekolah dasar lewat pendidikan agama, pendidikan moral pancasila, maupun bidang studi yang lain.

Namun dibalik fungsi dan peran sekolah yang demikian besar itu, ada beberapa hal yang patut dipertanyakan. Pertama, proses pendidikan cenderung cognitif oriented. Kecenderungan ini telah mengarahkan anak didik berperilaku hedonis, konsumtif,  hanya berfikir nilai ekonomis belaka. Kedua,  Munculnya persaingan antar sekolah dalam ranah material. Sekolah berupaya mencari murid sebanyak-banyaknya dengan perhitungan semakin banyak siswa akan semakin banyak nilai profit yang diterima, apalagi banyaknya kucuran dana dari pemerintah baik berupa BOS, BSM, Blogrant dan bantuan-bantuan lainnya. Sekolah memiliki kecenderungan menyusun proposal untuk menerima bantuan, sementara aspek kualitas masih berada diurutan berikutnya. Ketiga, Mengikisnya nilai-nilai agama pada peserta didik. Transformasi pendidikan yang terjadi melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi cenderung cognitif oriented sehingga transformasi nilai pun terabaikan. Ketidakseimbangan tersebut dapat menjadikan terkikisnya nilai-nilai agama pada peserta didik. Salah satu contoh konkretnya misalnya pada kasus pengggunaan fasilitas Facebook. Facebook sebagai alat jejaring sosial bisa dimanfaatkan sebagai media transformasi pengetahuan dan sosial namun dalam penggunaannya banyak pemakainya yang mengabaikan waktu solat, mengabaikan pekerjaan, mengabaikan belajar, dan mengabaikan kewajibannya yang lain dan lebih mementingkan diri untuk ber-facebook ria. Tidak itu saja media televisi, internet dan HP pun ikut andil dalam  membentuk nilai moral bagi anak didik.

Kini eksistensi sekolah memang patut dipertanyakan, sejauh manakah sekolah mampu memberikan tranformasi pengetahuan yang berbasis religius sehingga di balik majunya teknologi informasi dan komunikasi, sekolah mampu membekali siswa agar siswa memiliki filter dan kemampuan menyerap tradisi budaya global sehingga tata nilai  moral dan budaya luhur bangsa serta nilai-nilai agama tetap menjadi acuan utama anak didik dalam berperilaku sehari-hari. Sebuah tantangan yang sangat berat bagi sekolah.  Dengan demikian peran guru menjadi sangat strategis,  andaikan surga ditangan kanan dan neraka di tangan kiri, maka guru harus bisa membawa siswa meraih tangan kanan.  Bukankah guru kencing berdiri, murid kencing berlari? Semoga saja para guru diberi hidayahNya sehingga mampu membimbing siswa meraih surga.***

Selasa, 01 Mei 2012

Keutamaan Meninggalkan Perkara Haram


Oleh: M. Wahid Rosyidi
Takwa adalah menunaikan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan dan meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan. Jika bersamaan dengan itu terdapat suatu amalan (sunnah),  maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan. Menjauhi  perkara-perkara yang haram  meskipun sedikit adalah lebih utama daripada memperbanyak amalan-amalan yang sifatnya sunnah. Karena meninggalkan keharaman-keharaman adalah wajib, sedangkan amalan-amalan tersebut hukumnya sunnah.”(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam).

Pernyataan tersebut tentu bukan berarti kita tidak perlu melaksanakan yang sunnah. Kalimat hikmah di atas, sesungguhnya lebih cocok bila dikorelasikan dengan perilaku remaja masa kini, remaja era globalisasi, remaja yang kehilangan tali tradisi, remaja yang mengagungkan kesenangan di atas segalanya. Perilaku muda-mudi yang  yang tak bisa lagi dibendung oleh norma-norma tradisi,  bahkan norma religi pun bisa tumbang. Entahlah, apakah ini bagian dari zaman edannya Ronggowarsito, atau tanda bahwa dunia memang sudah benar-benar tua.  Kalau mau didata tentang perilaku negatif remaja cukup banyak mulai dari penyalahgunaan obat terlarang, kekerasan kelompok,  pornografi,  perilaku remaja dalam menjalin kasih,  dan berbagai kenakalan remaja lainnya baik bersifat kriminal maupun normatif.

Dalam kaitannya menjalin kasih antara cowok dan cewek, kalau saya katakan bahwa saya berani nembak cewek itu saat selesai kuliah dan sudah bekerja barangkali akan ditertawai oleh anak-anak zaman sekarang, meskipun rasa cinta terhadap lawan jenis sudah ada sejak saya kelas 1 SMP. Persoalan yang sebenarnya bukanlah nembak ceweknya, tetapi bagaimana cara menjalin hubungan setelah pernyataan cinta itu saling berbalas, dalam hal ini sekarang lebih populer disebut pacaran.

Pacaran boleh saja dianggap lumrah, tetapi yg penting bisa menjaga nilai-nilai adat ketimuran maupun nilai-nilai agama. Lha ini kan yang susah, kalau nilai agama itu diterapkan dalam berpacaran ya namanya mungkin bukan pacaran lagi kan? Sebab pacaran kan identik dengan berduaan, entah di pantai, di mall, di berbagai tempat hiburan.

Yang sangat menyedihkan bila pacaran dilakukan di sekolah. Bagaimana ini bisa terjadi? Ya bisa saja, lha pacarnya teman sekelas. Repotnya, teman-temannya yang mengetahui hal ini justru memberikan toleransi yang sangat tinggi, akibatnya banyak kesempatan yang bisa dilakukan keduanya. Masyaallah, ini sebenarnya racun, tetapi mengapa kita membiarkannya? Malah menoleransikannya, semakin banggakah kita dengan perilaku haram?

Sebagai seorang guru saya menaruh keprihatinan yang mendalam  terhadap perilaku berpacaran di sekolah. Sekolah seharusnya menjadi tempat penyematan tata nilai kebaikan kepada siswa, tetapi sudah dicemari dan tercoreng dengan perilaku yang jauh dari nilai edukatif. Perilaku yang hanya memuja kesenangan diatas segalanya, perilaku hedonis.

Tentu saja meletakkan kesalahan hanya kepada siswa sangatlah tidak bijak, sebab berbagai media baik cetak maupun elektronik, media internet termasuk lagu-lagu yang demikian populer dan dihafal siswa umumnya mendukung perilaku ‘menyimpang’ ini. Dulu Anggun C. Sasmi yang sekarang sudah menjadi penyanyi internasional, melantunkan lagu Takut  yang intinya seorang remaja apalagi masih sekolah tidak patut dan tidak pantas berpacaran, demikian pula Crisye lewat lagu Anak Sekolah menampilkan cerita yang sama tentang belum pantasnya remaja sekolah berpacaran. Ini berbeda dengan lagunya Blink Takut Jatuh Cinta atau Putih Abu-Abu yang sekarang mulai populer, cenderung mengeksploitasi cinta remaja, terlebih lagi lagu bergenre dangdut Hamil Duluan jelas menampilkan kemaksiatan penuh dengan keriangan.  Juga lagu Iwak Peyek versi bahasa Jawa yang jelas melanggar norma kepatutan karena syairnya yang terlalu vulgar dan tidak pantas secara normatif, tetapi justru menjadi populer. Memang aneh kan?

Dalam kaitan yang lebih luas perilaku korupsi, suap, money politic, dan segala bentuk kejahatan dan kemaksiatan semestinya bisa diminimalisir apabila meninggalkan yang haram menjadi bagian dari lebih dikedepankan daripada sekedar menjalankan yang sunnah, meski yang sunah akan lebih baik jika dilakukan.
Sudah seharusnya keutamaan meninggalkan yang haram  menjadi nafas hati kita.  Sehingga setiap kali kita akan melakukan perkara yang haram, kita bisa sabar dan mampu meninggalkannya.  Semoga. Amin.

Minggu, 08 April 2012

Distorsi Pluralisme, Memahami Pluralisme Sebagai Keberagaman Sosial


Distorsi Pluralisme, Memahami Pluralisme Sebagai Keberagaman Sosial
Oleh M. Wahid Rosyidi *)
Pada umumnya masyarakat memahami pluralisme sebagai keberagaman, dan bagaimana bertoleransi supaya tetap rukun. Namun, entah bagaimana, muncul definisi pluralisme lain, yaitu memaknai. Pluralisme sebagai  penyamaan, sehingga bila diimplementasikan dalam dunia religius menjadi semua agama itu sama. Lebih ekstrim lagi, ada yang memaknai bahwa pluralisme meyakini semua agama itu bisa disamakan, Tuhan tiap agama sebetulnya sama, dan pada esensinya semua orang akan ke akhir yang sama. Nah, jadi kacaukan?
Perbedaan dalam memaknai pluralisme akhirnya membawa kepada pertengkaran yang sebetulnya tidak perlu. Satu memperjuangkan toleransi, satu membela kemurnian. Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa inti polemik selama ini terletak pada perbedaan pemaknaan kata pluralisme itu sendiri.
Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi (keberagaman) akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi (penyamaan).
Kenyataan di atas membuat kita menjadi mafhum bila ada yang antipati  menolak pluralisme. Orang-orang itu bukan menolak ada agama lain di Indonesia, mereka menolak agamanya disatukan. Sehingga pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram pluralisme.
Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti "suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, yakni penyamaan agama, maka jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Bagi pegiat wacana pluralisme dalam arti keberagaman, mereka memandang pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas dan kemajemukan itu sendiri.oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.dalam pluralisme keberadaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk homogenitas, kesatuan, tunggal, mono dan ika. Keanekaragaman agama akan menjadi kekuatan bangsa manakala agama-agama mampu hidup berdampingan secara menyenangkan di sebuah negara.
Namun bagi mereka yang memaknai pluralisme sebagai penyamaan begitu mencurigai akan bahaya pluralisme, mereka menilai bahwa pluralisme merupakan proyek Barat. Proses liberalisme sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.
Wilayah yuridiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikkan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM (Hak Asasi Manusia). Oleh karenanya harus mendekontruksikan diri (atau didekontruksikan secara paksa) agar menuruti bahas kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”. Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai pluralisme agama..
Paham liberalisasi pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama. Juga lebih kental dengan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan produk dari leberalisme politik (politic liberalism). Jelas, leberalisme tidak lebih merupakan respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi semacam ini masih terbatas dalam masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia
Di Indonesia, pluralisme terutama yang terkait dengan agama selalu berada dalam posisi problematis. Siapa pun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman di Indonesia. Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama. Menurut salah satu teori sejarah, Islam datang ke bumi Nusantara pada abad ke-7 M. Artinya, Islam telah menghiasi negeri ini melewati satu milenium. Tetapi Islam tidak memasuki ruang hampa. Jauh sebelum datangnya Islam, masyarakat Nusantara telah terpola ke dalam berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya Islam, agama-agama lainnya pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini ada enam agama yang diakui eksistensinya, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Salah satu sisi problematis dari keragaman tersebut adalah adanya potensi konflik. Tentu ini terasa aneh, karena ajaran agama mana pun selalu menekankan pada kesamaan dan kesetaraan manusia. Ini merupakan visi perenial semua agama.
Potensi konflik dalam keragaman agama dengan demikian berada di luar wilayah perenial agama, tetapi lebih banyak terjadi pada wilayah konstruksi sosial. Mengapa wilayah ini rentan konflik? Konstruksi merupakan modus yang dikembangkan oleh seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang meniscayakan pada suatu modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang terdapatdalam doktrin agama bisa dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Al-Qur’an, Injil, dan kitab-kitab lainnya, sebagai kodifikasi firman Tuhan, tentu akan banyak menghadapi kesulitan aktualisasi jika tidak dijembati dengan pemahaman manusia.
Menurut Hasyim Muzadi, pluralisme yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama di Indonesia adalah pluralisme sosiologis bukan plurarisme teologis. Pluralisme teologis justru merugikan teologi semua agama. Tidak ada keimanan atau keyakinan “tahu campur” dalam agama. Konsep pluralisme mengemuka menyusul meninggalnya KH Abdurrahman Wahid yang disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak Pluralisme.
Menurut Hasyim, masalah teologi dan ritual (transenden) adalah hak original agama masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar. Sehingga doa bersama lintas agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekedar tempat dan waktu yang bersamaan.
Sedangkan pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan “umat” beragama dalam komunitas keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika atau unity and diversity, karena setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu.
Indonesia sebagi bangsa yang majemuk, kaya akan khazanah sosial, kebudayaan menyimpan potensi lebih. Sebuah kesepakatan umat Islam untuk hidup dalam sebuah negara yang tidak akan pernah didasarkan pada pengakuan formal atas Islam sebagai yang ‘terbaik’ secara objektif atau pelayanan pemerintah yang terlalu berlebihan  dari pada agama-agama lain.
Bagi masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi pembangunan dalam segala bidang, mewujudkan toleransi itu mendesak dengan banyak memberikan penjelasan akan ajaran-ajaran agama yang menekankan toleransi. Dengan begitu jiwa toleransi beragama dapat dipupuk dikalangan pemeluk masing-masing agama. Dalam catatan hasil, kemajemukan atau pluralitas bangsa ini sebenarnya memperlihatkan pengalaman empirik. Karena prinsip pluralisme sebagai paham yang menghargai eksistensi perbedaan manusia kemudian diakui dan dilestarikan dalam bentuk semboyan negara kita, yakni bhineka tunggal ika, yang secara implisit mengandung penegasan bahwa perbedaan adalah khazanah nasional yang semestinya bukan untuk dimusuhi atau diseragamkan, tetapi harus dsatukan agar tidak menjadi kekuatan yang tercerai berai.
Selain itu, harus diakui bahwa agama juga merupakan salah satu faktor potensial yang menyulitkan tegaknya pluralisme. Sebagai ajaran yang diyakini membawa nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebersamaan, kesalehan, dan lain sebagainya. Agama pada dasarnya menghendaki adanya cinta kasih diantara sesama manusia tanpa mempertimbangkan perbedaan latar belakang identitas atau predikat yang disandang. Menurut akal sehat, tidak akan ada satupun agama yang menghalalkan permusuhan karena suatu perbedaan selama semua pihak saling menghormati satu sama lain dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing.
Dalam perspektif Islam, perbedaan pada hakikatnya bukanlah suatu masalah yang serius karena merupakan garis ketentuan Allah. Dalam hal ini Islam secara tegas menjamin hak-hak dasar kemanusiaan yaitu apa yang menjadi tujuan diturunkannya syariat (maqasid asy-syari’ah) yang meliputi jaminan atas: Pertama, kebebasan agama atau mempertahankan keyakinan, yang berarti syariat diturunkan bertujuan untuk melindungi agama dan keyakinan setiap orang (hifz ad-din). Kedua, keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan diluar ketentuan hukum (hifz an-nafs). Ketiga, keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl). Keempat, keamanan harta benda atau hak milik pribadi (hifzu an-mal). Dan kelima, kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifu al-‘aql). Menurut pandangan Hasyim Muzadi, keharusan menjaga prinsip pluralisme tersebut tidak hanya dalam aspek norma-norma keagamaan, tapi juga dari tinjauan sosiologis. Argumen ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa berdasarkan pengalaman di Indonesia, toleransi dan kerukunan hidup beragama berjalan cukup baik. Islam yang masuk ke Indonesia bercorak sangat akomodatif terhadap budaya lokal, termasuk kepercayaan-kepercayaan sehingga mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks.
Pluralisme sosiologis adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan seseorang untuk tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif) meskipun berbeda keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan untuk menerima atau mengambil gagasan dari kalangan lain. Pada gilirannya pluralisme ini akan melahirkan sikap toleran terhadap yang lain. Sikap ini amat penting ditetapkan dalam pergaulan sosial seperti di Indonesia. Sikap pluralistik tersebut merupakan modal sosial untuk hidup bersama dalam keragaman sosial, budaya, politik, dan agama secara damai dan beradab.
Barangkali perlu dikemukakan kembali pengertian pluralisme yang sudah demikian terdistorsi. Pengertian pluralisme sebagai keseragaman/penyamaan dan pengertian pluralisme sebagai keberagaman. Justru disinilah letak masalah krusialnya. Kesalahan pemahaman istilah sehingga menibulkan konflik yang berkepanjangan. Untuk itu, seharunya perlu dibuka forum guna menyamakan persepsi dan menyepakati istilah yang bermakna sama. Dengan demikian segala sengketa dan silang pendapat bisa segera diakhiri.
*(dirangkum dari berbagai sumber)