Jumat, 27 Januari 2012

MENIMBANG RSBI DAN SERTIFIKASI MELALUI PERSPEKTIF HATI NURANI


Oleh : Muhammad  Wahid Rosyidi
MAKLUMAT atau pengumuman pemerintah dalam hal ini pernyataan Kemendiknas yang mengemukakan bahwa program  Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) telah gagal karena tidak ada satupun dari institusi RSBI layak menjadi SBI (Sekolah bertaraf Internasional) patut diapresiasi positif.

Sebab kalau mau bisa saja pihak kemendiknas mengklaim telah berhasil sehingga kucuran dana pasti kian melimpah. Lebih dari itu pernyataan M. Nuh sebagai Menteri Pendiidkan Nasional tersebut selayaknya diapresiasi oleh para pelaku di tingkat institusi bukan sebagai kegagalan, tetapi sebagai pemicu semangat bahwa mendirikan dan mengelola RS BI sebagai institusi yang  lahir didasarkan pada ketentuan undang-undang sistem pendidikan nasional (UU no 20 tahun 2003) pasal 50 ayat 3 ini tidak mudah.
Selama ini seringkali dimaklumi bahwa TPK (Tim Pengembang Kurikulum)  di  Tingkat Sekolah meskipun belum berjalan sesuai aturan selalu dipaksakan pelaksanaannya. Keterlibatan masyarakat yang  diwakili oleh komite sekolah sering kali tidak maksimal, kadang terjadi komite hanya sekedar tanda tangan dan melegalisasi kurikulum yang telah diskenario sekolah. Distorsi ini tidak disadari menyebabkan ada ketidak seimbangan, sebab pasti ada harapan masyarakat yang tidak bisa diwadahi. Sementara itu ada kecenderungan sekolah ingin mempertahankan atau menaikkan grade nya demi mengejar dan mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Bisa jadi ada RSBI yang mungkin 'dipaksakan' demi kucuran dana melimpah, padahal seluruh pelaku steak holder  di sekolah tersebut belum siap, atau sekali lagi 'dipaksakan siap'.  Pasti untuk maju dan masuk menjadi  sekolah berkategori RSBI tidaklah mudah. Tetapi acuan dipaksakan tersebut bisa jadi sekolah melakukan daya upaya yang barangkali hati nurani menolaknya, sebab sifat keegoan individu maupun kelompok lebih dominan, maka  gaya 'menghalalkan segala cara' tetap dilakukan.
Mestinya pengawas lebih jeli melihat kecenderungan sekolah yang ingin menaikkan grade melewati pintu akreditasi hanya 'bondo nekat'.  Perlu  melihat super ketat apakah kom ponen-komponen yang dimiliki sekolah tersebut benar-benar memenuhi syarat sesuai acuan yang telah ditetapkan. Tidak seharusnya tim pengawas atau akreditor menggunakan pedoman 'memaklumi, 'menyesuaikan' dan pertimbangan-pertimbangan lain diluar koridor pedoman penilain ya ng telah ditetapkan. Apalagi bila hanya karena amplop tebal maka nilai bisa didongkrak, sungguh hal ini telah melawan hati nurani.
Perpektif hati nurani tentang RSBI mengantarkan kita untuk mengedepankan kejujuran dan menjunjung tinggi nilai-nilai edukatif dalam mengemban amanat bangsa, mencerdaskan anak bangsa  sehingga RSBI bisa go SBI dan RSBI maupun SBI kelak bukan lagi sekolah mercusuar yang hanya bisa dinikmati segelintir anak orang berkantong tebal, tetapi benar-benar tidak ma endiskriminatifkan anak orang tidak mampu.
Selanjutnya  pertanyaan kritis bisa diajukan juga terhadap sertifikasi guru. Guru profesional dan bermartabat menjadi impian kita semua karena akan melahirkan anak bangsa yang cerdas, kritis, inovatif, demokratis, dan berakhlak. Guru profesional dan bermartabat memberikan teladan bagi terbentuknya kualitas sumber daya manusia yang kuat. Sertifikasi guru
mendulang harapan agar terwujudnya impian tersebut. Perwujudan impian ini tidak seperti membalik talapak tangan. Karena itu, perlu kerja keras dan sinergi dari semua pihak yakni, pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan guru.
Kembali ke pertanyaan semula gagal atau berhasilkah sertifikasi guru membentuk guru professional dan bermartabat seperti yang diimpikan dan dicita-citakan itu? Sejauh ini tidak ada pernyataan resmi dari pemerintah maupun pihak kemendiknas. Jika dipikir, RSBI lebih banyak menyangkut instituasi sedangkan sertifikasi lebih berkaitan dengan individu, maka sangat riskan dan ceroboh bila tanpa penilaian mendalam dan melibatkan banyak pihak memberikan justifikasi gagal atau tidak.
Oleh karena itu sebenarnya sangat patut bila penerima sertifikasi guru yang berarti sudah 'dianggap' menjadi guru yang professional menilai dan memandang sertifikasi yang telah disandangnya dan otomatif menerima intensif itu melihat dan memaknainya dari sudut perpekstif hati nurani. Artinya, guru sertifikasi patut bertindak dan berperikaku sebagai seorang yang profesional  dan bermartabat yang dilandasi dimensi keilahian.
Jelasnya begini, uang insentif sertifikasi itu wajib ditindaklanjuti dengan perilaku yang profesional sejati. Berarti perang kat pembelajaran dan segala 'tetek bengek' persiapan guru untuk
mengajar termasuk silabus, rpp, kkm, jurnal, analisis butir soal dll bukanlah sekedar hasil copy paste semata, tetapi telah melalui proses modifikasi dan kajian praktis secara nyata, bukan hanya sekedar memenuhi syarat administratif mendapat tanda tangan dan pengesahan kepala sekolah. Yang lebih penting lagi, mestinya guru profesional memiliki keinginan untuk meningkatkan ilmu dan keprofesionalannya. Salah satu diantaranya adalah melanjutkan studi ke jenjang yang  lebih tinggi.

Sungguh sangat tidak patut bila insentif sertifikasi itu hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif belaka.

Perspektif hati nurani  mestinya mengajarkan kepada kita bahwa intensif sertifikasi itu adalah amanah yang harus kita tunaikan agar keprofesionalan guru memiliki dampak yang positif terhadap peningkatan mutu pendidikan termasuk didalamnya pembentukan character building anak bangsa.
Menjadi guru sertifikasi yang berarti berpredikat profesional yang berarti pula mendapatkan intensif tunjangan sertifikasi bagi guru swasta menjadi berkah yang sangat luar biasa, meskipun insentif ini cair seringkali hanya 6 bulan sekali atau satutahun sekali, tetapi dapat menjadi pengobat hati dan harapan segar yang senantiasa ditunggu-tunggu. Apalagi bagi guru sekolah swasta di sekolah pinggiran yang pada umumnya bergaji bulanan masih jauh dari upah minimal regional setempat. Akan tetapi, tetap saja  'berkah' ini menjadi amanat yang tidak mudah menunaikannya, sebab ada uang rakyat yang diterima guru sertifikasi ini. Lebih-lebih bagi PNS, jelas gajinya otomatis menjadi berlipat-lipat, tentu saja panggilan hati nurani mengharuskan PNS bersertifikasi 'double wajib' menjalankan tugasnya dengan penuh kesungguhan.
Jadi sertifikasi memang wajib disyukuri, tetapi sekaligus sertifikasi memuat 'amanat' yang 'cukup berat' dan harus ditunaikan. Kalau sertifikasi diartikan hanya sekedar tambahan gaji, maka predikat guru profesional yang bermartabat tak layak lagi disandang. Lalu ujung-ujungnya sertifikasi bisa jadi gagal memenuhi tuntutan dan tujuan yang diharapkan. Maka bisa jadi sertifikasi di stop. Nah, yang ini semoga jangan.
(Http/www.wahid-berbagi.blogspot.com)