Oleh : Muhammad Wahid
Rosyidi
MAKLUMAT atau pengumuman pemerintah dalam hal ini pernyataan
Kemendiknas yang mengemukakan bahwa program
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) telah gagal karena tidak
ada satupun dari institusi RSBI layak menjadi SBI (Sekolah bertaraf
Internasional) patut diapresiasi positif.
Sebab kalau mau bisa saja pihak kemendiknas mengklaim telah
berhasil sehingga kucuran dana pasti kian melimpah. Lebih dari itu pernyataan
M. Nuh sebagai Menteri Pendiidkan Nasional tersebut selayaknya diapresiasi oleh
para pelaku di tingkat institusi bukan sebagai kegagalan, tetapi sebagai pemicu
semangat bahwa mendirikan dan mengelola RS BI sebagai institusi yang lahir didasarkan pada ketentuan undang-undang
sistem pendidikan nasional (UU no 20 tahun 2003) pasal 50 ayat 3 ini tidak
mudah.
Selama ini seringkali dimaklumi bahwa TPK (Tim Pengembang
Kurikulum) di Tingkat Sekolah meskipun belum berjalan
sesuai aturan selalu dipaksakan pelaksanaannya. Keterlibatan masyarakat
yang diwakili oleh komite sekolah sering
kali tidak maksimal, kadang terjadi komite hanya sekedar tanda tangan dan
melegalisasi kurikulum yang telah diskenario sekolah. Distorsi ini tidak
disadari menyebabkan ada ketidak seimbangan, sebab pasti ada harapan masyarakat
yang tidak bisa diwadahi. Sementara
itu ada kecenderungan sekolah ingin mempertahankan atau menaikkan grade nya
demi mengejar dan mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Bisa jadi ada RSBI yang mungkin 'dipaksakan' demi kucuran
dana melimpah, padahal seluruh pelaku steak holder di sekolah tersebut belum siap, atau sekali
lagi 'dipaksakan siap'. Pasti untuk maju
dan masuk menjadi sekolah berkategori
RSBI tidaklah mudah. Tetapi acuan dipaksakan tersebut bisa jadi sekolah
melakukan daya upaya yang barangkali hati nurani menolaknya, sebab sifat
keegoan individu maupun kelompok lebih dominan, maka gaya 'menghalalkan segala cara' tetap
dilakukan.
Mestinya pengawas lebih jeli melihat kecenderungan sekolah yang
ingin menaikkan grade melewati pintu akreditasi hanya 'bondo nekat'. Perlu
melihat super ketat apakah kom ponen-komponen yang dimiliki sekolah
tersebut benar-benar memenuhi syarat sesuai acuan yang telah ditetapkan. Tidak
seharusnya tim pengawas atau akreditor menggunakan pedoman 'memaklumi,
'menyesuaikan' dan pertimbangan-pertimbangan lain diluar koridor pedoman
penilain ya ng telah ditetapkan. Apalagi bila hanya karena amplop tebal maka
nilai bisa didongkrak, sungguh hal ini telah melawan hati nurani.
Perpektif hati nurani tentang RSBI mengantarkan kita untuk
mengedepankan kejujuran dan menjunjung tinggi nilai-nilai edukatif dalam
mengemban amanat bangsa, mencerdaskan anak bangsa sehingga RSBI bisa go SBI dan RSBI maupun SBI
kelak bukan lagi sekolah mercusuar yang hanya bisa dinikmati segelintir anak
orang berkantong tebal, tetapi benar-benar tidak ma endiskriminatifkan anak
orang tidak mampu.
Selanjutnya pertanyaan kritis bisa diajukan juga terhadap
sertifikasi guru. Guru profesional dan bermartabat menjadi impian kita semua
karena akan melahirkan anak bangsa yang cerdas, kritis, inovatif, demokratis,
dan berakhlak. Guru profesional dan bermartabat memberikan teladan bagi
terbentuknya kualitas sumber daya manusia yang kuat. Sertifikasi guru
mendulang harapan agar terwujudnya impian tersebut.
Perwujudan impian ini tidak seperti membalik talapak tangan. Karena itu, perlu
kerja keras dan sinergi dari semua pihak yakni, pemerintah pusat, pemerintah
daerah, masyarakat, dan guru.
Kembali ke pertanyaan semula gagal atau berhasilkah
sertifikasi guru membentuk guru professional dan bermartabat seperti yang
diimpikan dan dicita-citakan itu? Sejauh
ini tidak ada pernyataan resmi dari pemerintah maupun pihak kemendiknas. Jika
dipikir, RSBI lebih banyak menyangkut instituasi sedangkan sertifikasi lebih
berkaitan dengan individu, maka sangat riskan dan ceroboh bila tanpa penilaian
mendalam dan melibatkan banyak pihak memberikan justifikasi gagal atau tidak.
Oleh karena itu
sebenarnya sangat patut bila penerima sertifikasi guru yang berarti sudah
'dianggap' menjadi guru yang professional menilai dan memandang sertifikasi
yang telah disandangnya dan otomatif menerima intensif itu melihat dan
memaknainya dari sudut perpekstif hati nurani. Artinya, guru sertifikasi patut
bertindak dan berperikaku sebagai seorang yang profesional dan bermartabat yang dilandasi dimensi
keilahian.
Jelasnya begini, uang insentif sertifikasi itu wajib
ditindaklanjuti dengan perilaku yang profesional sejati. Berarti perang kat pembelajaran dan segala 'tetek
bengek' persiapan guru untuk
mengajar termasuk
silabus, rpp, kkm, jurnal, analisis butir soal dll bukanlah sekedar hasil copy
paste semata, tetapi telah melalui proses modifikasi dan kajian praktis secara
nyata, bukan hanya sekedar memenuhi syarat administratif mendapat tanda tangan
dan pengesahan kepala sekolah. Yang lebih penting lagi, mestinya guru
profesional memiliki keinginan untuk meningkatkan ilmu dan keprofesionalannya.
Salah satu diantaranya adalah melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Sungguh sangat
tidak patut bila insentif sertifikasi itu hanya untuk memenuhi kebutuhan
konsumtif belaka.
Perspektif hati
nurani mestinya mengajarkan kepada kita
bahwa intensif sertifikasi itu adalah amanah yang harus kita tunaikan agar
keprofesionalan guru memiliki dampak yang positif terhadap peningkatan mutu
pendidikan termasuk didalamnya pembentukan character building anak bangsa.
Menjadi guru
sertifikasi yang berarti berpredikat profesional yang berarti pula mendapatkan
intensif tunjangan sertifikasi bagi guru swasta menjadi berkah yang sangat luar
biasa, meskipun insentif ini cair seringkali hanya 6 bulan sekali atau
satutahun sekali, tetapi dapat menjadi pengobat hati dan harapan segar yang
senantiasa ditunggu-tunggu. Apalagi bagi guru sekolah swasta di sekolah
pinggiran yang pada umumnya bergaji bulanan masih jauh dari upah minimal
regional setempat. Akan tetapi, tetap saja
'berkah' ini menjadi amanat yang tidak mudah menunaikannya, sebab ada
uang rakyat yang diterima guru sertifikasi ini. Lebih-lebih bagi PNS, jelas
gajinya otomatis menjadi berlipat-lipat, tentu saja panggilan hati nurani
mengharuskan PNS bersertifikasi 'double wajib' menjalankan tugasnya dengan
penuh kesungguhan.
Jadi sertifikasi
memang wajib disyukuri, tetapi sekaligus sertifikasi memuat 'amanat' yang
'cukup berat' dan harus ditunaikan. Kalau sertifikasi diartikan hanya sekedar
tambahan gaji, maka predikat guru profesional yang bermartabat tak layak lagi
disandang. Lalu ujung-ujungnya sertifikasi bisa jadi gagal memenuhi tuntutan
dan tujuan yang diharapkan. Maka bisa jadi sertifikasi di stop. Nah, yang ini
semoga jangan.
(Http/www.wahid-berbagi.blogspot.com)