Distorsi Pluralisme,
Memahami Pluralisme Sebagai Keberagaman Sosial
Oleh M. Wahid
Rosyidi *)
Pada umumnya
masyarakat memahami pluralisme sebagai keberagaman, dan bagaimana bertoleransi
supaya tetap rukun. Namun, entah bagaimana, muncul definisi pluralisme lain, yaitu
memaknai. Pluralisme sebagai penyamaan, sehingga
bila diimplementasikan dalam dunia religius menjadi semua agama itu sama. Lebih
ekstrim lagi, ada yang memaknai bahwa pluralisme meyakini semua agama itu bisa
disamakan, Tuhan tiap agama sebetulnya sama, dan pada esensinya semua orang
akan ke akhir yang sama. Nah, jadi kacaukan?
Perbedaan
dalam memaknai pluralisme akhirnya membawa kepada pertengkaran yang sebetulnya
tidak perlu. Satu memperjuangkan toleransi, satu membela kemurnian. Dengan
demikian menjadi jelaslah bahwa inti polemik selama ini terletak pada perbedaan
pemaknaan kata pluralisme itu sendiri.
Pertentangan
yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa.
Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi (keberagaman)
akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi (penyamaan).
Kenyataan di
atas membuat kita menjadi mafhum bila ada yang antipati menolak pluralisme. Orang-orang itu bukan
menolak ada agama lain di Indonesia, mereka menolak agamanya disatukan. Sehingga
pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram pluralisme.
Dalam fatwa
tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek
persoalan yang ditanggapi) dalam arti "suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah
relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa
hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di
surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, yakni penyamaan
agama, maka jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Bagi pegiat
wacana pluralisme dalam arti keberagaman, mereka memandang pluralisme adalah
sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu kemanusiaan, yakni keragaman,
heterogenitas dan kemajemukan itu sendiri.oleh karena itu, ketika disebut
pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu,
komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus
diterima dan dipelihara.dalam pluralisme keberadaan diakui adanya, dan
karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk homogenitas, kesatuan,
tunggal, mono dan ika. Keanekaragaman agama akan menjadi kekuatan bangsa
manakala agama-agama mampu hidup berdampingan secara menyenangkan di sebuah
negara.
Namun bagi
mereka yang memaknai pluralisme sebagai penyamaan begitu mencurigai akan bahaya
pluralisme, mereka menilai bahwa pluralisme merupakan proyek Barat. Proses
liberalisme sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern,
semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca:
penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus
membuka diri untuk diliberalisasikan.
Wilayah
yuridiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikkan sedemikian
rupa. Hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan
saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan
mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM (Hak Asasi Manusia). Oleh
karenanya harus mendekontruksikan diri (atau didekontruksikan secara paksa)
agar menuruti bahas kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks
dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman.
Proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang
pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”. Liberalisasi agama harus
bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama
pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang
menyebutnya sebagai pluralisme agama..
Paham
liberalisasi pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya,
wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama.
Juga lebih kental dengan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme
agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political
pluralism), yang merupakan produk dari leberalisme politik (politic
liberalism). Jelas, leberalisme tidak lebih merupakan respon politis
terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman
sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi semacam ini masih terbatas dalam
masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh
berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia
Di
Indonesia, pluralisme terutama yang terkait dengan agama selalu berada dalam
posisi problematis. Siapa pun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman
di Indonesia. Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat
lama. Menurut salah satu teori sejarah, Islam datang ke bumi Nusantara pada
abad ke-7 M. Artinya, Islam telah menghiasi negeri ini melewati satu milenium.
Tetapi Islam tidak memasuki ruang hampa. Jauh sebelum datangnya Islam,
masyarakat Nusantara telah terpola ke dalam berbagai agama dan kepercayaan.
Tidak hanya Islam, agama-agama lainnya pun berdatangan. Dalam versi negara,
pada saat ini ada enam agama yang diakui eksistensinya, yaitu: Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Salah
satu sisi problematis dari keragaman tersebut adalah adanya potensi konflik.
Tentu ini terasa aneh, karena ajaran agama mana pun selalu menekankan pada
kesamaan dan kesetaraan manusia. Ini merupakan visi perenial semua agama.
Potensi
konflik dalam keragaman agama dengan demikian berada di luar wilayah perenial
agama, tetapi lebih banyak terjadi pada wilayah konstruksi sosial. Mengapa
wilayah ini rentan konflik? Konstruksi merupakan modus yang dikembangkan oleh
seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang meniscayakan pada suatu
modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang terdapatdalam doktrin agama bisa
dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Al-Qur’an, Injil, dan kitab-kitab
lainnya, sebagai kodifikasi firman Tuhan, tentu akan banyak menghadapi
kesulitan aktualisasi jika tidak dijembati dengan pemahaman manusia.
Menurut
Hasyim Muzadi, pluralisme yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama di Indonesia
adalah pluralisme sosiologis bukan plurarisme teologis. Pluralisme teologis justru
merugikan teologi semua agama. Tidak ada keimanan atau keyakinan “tahu campur”
dalam agama. Konsep pluralisme mengemuka menyusul meninggalnya KH Abdurrahman
Wahid yang disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak
Pluralisme.
Menurut
Hasyim, masalah teologi dan ritual (transenden) adalah hak original agama
masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar. Sehingga doa bersama lintas
agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekedar tempat dan
waktu yang bersamaan.
Sedangkan
pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan “umat” beragama dalam komunitas
keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika atau unity
and diversity, karena setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada
ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu.
Indonesia
sebagi bangsa yang majemuk, kaya akan khazanah sosial, kebudayaan menyimpan
potensi lebih. Sebuah kesepakatan umat Islam untuk hidup dalam sebuah negara
yang tidak akan pernah didasarkan pada pengakuan formal atas Islam sebagai yang
‘terbaik’ secara objektif atau pelayanan pemerintah yang terlalu berlebihan
dari pada agama-agama lain.
Bagi
masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi pembangunan dalam segala bidang,
mewujudkan toleransi itu mendesak dengan banyak memberikan penjelasan akan
ajaran-ajaran agama yang menekankan toleransi. Dengan begitu jiwa toleransi
beragama dapat dipupuk dikalangan pemeluk masing-masing agama. Dalam catatan
hasil, kemajemukan atau pluralitas bangsa ini sebenarnya memperlihatkan
pengalaman empirik. Karena prinsip pluralisme sebagai paham yang menghargai
eksistensi perbedaan manusia kemudian diakui dan dilestarikan dalam bentuk
semboyan negara kita, yakni bhineka tunggal ika, yang secara implisit
mengandung penegasan bahwa perbedaan adalah khazanah nasional yang semestinya
bukan untuk dimusuhi atau diseragamkan, tetapi harus dsatukan agar tidak
menjadi kekuatan yang tercerai berai.
Selain
itu, harus diakui bahwa agama juga merupakan salah satu faktor potensial yang
menyulitkan tegaknya pluralisme. Sebagai ajaran yang diyakini membawa
nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebersamaan, kesalehan, dan lain
sebagainya. Agama pada dasarnya menghendaki adanya cinta kasih diantara sesama
manusia tanpa mempertimbangkan perbedaan latar belakang identitas atau predikat
yang disandang. Menurut akal sehat, tidak akan ada satupun agama yang
menghalalkan permusuhan karena suatu perbedaan selama semua pihak saling
menghormati satu sama lain dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing.
Dalam
perspektif Islam, perbedaan pada hakikatnya bukanlah suatu masalah yang serius
karena merupakan garis ketentuan Allah. Dalam hal ini Islam secara tegas
menjamin hak-hak dasar kemanusiaan yaitu apa yang menjadi tujuan diturunkannya
syariat (maqasid asy-syari’ah) yang meliputi jaminan atas: Pertama,
kebebasan agama atau mempertahankan keyakinan, yang berarti syariat
diturunkan bertujuan untuk melindungi agama dan keyakinan setiap orang (hifz
ad-din). Kedua, keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan diluar ketentuan
hukum (hifz an-nafs). Ketiga, keselamatan atau kelangsungan hidup
keturunan atau keluarga (hifz an-nasl). Keempat, keamanan harta benda
atau hak milik pribadi (hifzu an-mal). Dan kelima, kebebasan
berpendapat dan berekspresi (hifu al-‘aql). Menurut pandangan Hasyim
Muzadi, keharusan menjaga prinsip pluralisme tersebut tidak hanya dalam aspek
norma-norma keagamaan, tapi juga dari tinjauan sosiologis. Argumen ini
didasarkan pada fakta sejarah bahwa berdasarkan pengalaman di Indonesia,
toleransi dan kerukunan hidup beragama berjalan cukup baik. Islam yang masuk ke
Indonesia bercorak sangat akomodatif terhadap budaya lokal, termasuk
kepercayaan-kepercayaan sehingga mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks.
Pluralisme
sosiologis adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam
bertindak mensyaratkan seseorang untuk tidak membatasi pergaulan dengan orang
lain (eksklusif) meskipun berbeda keyakinan. Pluralisme dalam berpikir
adalah kesediaan untuk menerima atau mengambil gagasan dari kalangan lain. Pada
gilirannya pluralisme ini akan melahirkan sikap toleran terhadap yang lain.
Sikap ini amat penting ditetapkan dalam pergaulan sosial seperti di Indonesia. Sikap
pluralistik tersebut merupakan modal sosial untuk hidup bersama dalam keragaman
sosial, budaya, politik, dan agama secara damai dan beradab.
Barangkali
perlu dikemukakan kembali pengertian pluralisme yang sudah demikian
terdistorsi. Pengertian pluralisme sebagai keseragaman/penyamaan dan pengertian
pluralisme sebagai keberagaman. Justru disinilah letak masalah krusialnya.
Kesalahan pemahaman istilah sehingga menibulkan konflik yang berkepanjangan.
Untuk itu, seharunya perlu dibuka forum guna menyamakan persepsi dan
menyepakati istilah yang bermakna sama. Dengan demikian segala sengketa dan
silang pendapat bisa segera diakhiri.
*(dirangkum dari berbagai sumber)