Minggu, 08 April 2012

Distorsi Pluralisme, Memahami Pluralisme Sebagai Keberagaman Sosial


Distorsi Pluralisme, Memahami Pluralisme Sebagai Keberagaman Sosial
Oleh M. Wahid Rosyidi *)
Pada umumnya masyarakat memahami pluralisme sebagai keberagaman, dan bagaimana bertoleransi supaya tetap rukun. Namun, entah bagaimana, muncul definisi pluralisme lain, yaitu memaknai. Pluralisme sebagai  penyamaan, sehingga bila diimplementasikan dalam dunia religius menjadi semua agama itu sama. Lebih ekstrim lagi, ada yang memaknai bahwa pluralisme meyakini semua agama itu bisa disamakan, Tuhan tiap agama sebetulnya sama, dan pada esensinya semua orang akan ke akhir yang sama. Nah, jadi kacaukan?
Perbedaan dalam memaknai pluralisme akhirnya membawa kepada pertengkaran yang sebetulnya tidak perlu. Satu memperjuangkan toleransi, satu membela kemurnian. Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa inti polemik selama ini terletak pada perbedaan pemaknaan kata pluralisme itu sendiri.
Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi (keberagaman) akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi (penyamaan).
Kenyataan di atas membuat kita menjadi mafhum bila ada yang antipati  menolak pluralisme. Orang-orang itu bukan menolak ada agama lain di Indonesia, mereka menolak agamanya disatukan. Sehingga pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram pluralisme.
Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti "suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, yakni penyamaan agama, maka jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Bagi pegiat wacana pluralisme dalam arti keberagaman, mereka memandang pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas dan kemajemukan itu sendiri.oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.dalam pluralisme keberadaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk homogenitas, kesatuan, tunggal, mono dan ika. Keanekaragaman agama akan menjadi kekuatan bangsa manakala agama-agama mampu hidup berdampingan secara menyenangkan di sebuah negara.
Namun bagi mereka yang memaknai pluralisme sebagai penyamaan begitu mencurigai akan bahaya pluralisme, mereka menilai bahwa pluralisme merupakan proyek Barat. Proses liberalisme sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.
Wilayah yuridiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikkan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM (Hak Asasi Manusia). Oleh karenanya harus mendekontruksikan diri (atau didekontruksikan secara paksa) agar menuruti bahas kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”. Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai pluralisme agama..
Paham liberalisasi pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama. Juga lebih kental dengan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan produk dari leberalisme politik (politic liberalism). Jelas, leberalisme tidak lebih merupakan respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi semacam ini masih terbatas dalam masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia
Di Indonesia, pluralisme terutama yang terkait dengan agama selalu berada dalam posisi problematis. Siapa pun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman di Indonesia. Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama. Menurut salah satu teori sejarah, Islam datang ke bumi Nusantara pada abad ke-7 M. Artinya, Islam telah menghiasi negeri ini melewati satu milenium. Tetapi Islam tidak memasuki ruang hampa. Jauh sebelum datangnya Islam, masyarakat Nusantara telah terpola ke dalam berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya Islam, agama-agama lainnya pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini ada enam agama yang diakui eksistensinya, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Salah satu sisi problematis dari keragaman tersebut adalah adanya potensi konflik. Tentu ini terasa aneh, karena ajaran agama mana pun selalu menekankan pada kesamaan dan kesetaraan manusia. Ini merupakan visi perenial semua agama.
Potensi konflik dalam keragaman agama dengan demikian berada di luar wilayah perenial agama, tetapi lebih banyak terjadi pada wilayah konstruksi sosial. Mengapa wilayah ini rentan konflik? Konstruksi merupakan modus yang dikembangkan oleh seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang meniscayakan pada suatu modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang terdapatdalam doktrin agama bisa dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Al-Qur’an, Injil, dan kitab-kitab lainnya, sebagai kodifikasi firman Tuhan, tentu akan banyak menghadapi kesulitan aktualisasi jika tidak dijembati dengan pemahaman manusia.
Menurut Hasyim Muzadi, pluralisme yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama di Indonesia adalah pluralisme sosiologis bukan plurarisme teologis. Pluralisme teologis justru merugikan teologi semua agama. Tidak ada keimanan atau keyakinan “tahu campur” dalam agama. Konsep pluralisme mengemuka menyusul meninggalnya KH Abdurrahman Wahid yang disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak Pluralisme.
Menurut Hasyim, masalah teologi dan ritual (transenden) adalah hak original agama masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar. Sehingga doa bersama lintas agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekedar tempat dan waktu yang bersamaan.
Sedangkan pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan “umat” beragama dalam komunitas keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika atau unity and diversity, karena setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu.
Indonesia sebagi bangsa yang majemuk, kaya akan khazanah sosial, kebudayaan menyimpan potensi lebih. Sebuah kesepakatan umat Islam untuk hidup dalam sebuah negara yang tidak akan pernah didasarkan pada pengakuan formal atas Islam sebagai yang ‘terbaik’ secara objektif atau pelayanan pemerintah yang terlalu berlebihan  dari pada agama-agama lain.
Bagi masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi pembangunan dalam segala bidang, mewujudkan toleransi itu mendesak dengan banyak memberikan penjelasan akan ajaran-ajaran agama yang menekankan toleransi. Dengan begitu jiwa toleransi beragama dapat dipupuk dikalangan pemeluk masing-masing agama. Dalam catatan hasil, kemajemukan atau pluralitas bangsa ini sebenarnya memperlihatkan pengalaman empirik. Karena prinsip pluralisme sebagai paham yang menghargai eksistensi perbedaan manusia kemudian diakui dan dilestarikan dalam bentuk semboyan negara kita, yakni bhineka tunggal ika, yang secara implisit mengandung penegasan bahwa perbedaan adalah khazanah nasional yang semestinya bukan untuk dimusuhi atau diseragamkan, tetapi harus dsatukan agar tidak menjadi kekuatan yang tercerai berai.
Selain itu, harus diakui bahwa agama juga merupakan salah satu faktor potensial yang menyulitkan tegaknya pluralisme. Sebagai ajaran yang diyakini membawa nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebersamaan, kesalehan, dan lain sebagainya. Agama pada dasarnya menghendaki adanya cinta kasih diantara sesama manusia tanpa mempertimbangkan perbedaan latar belakang identitas atau predikat yang disandang. Menurut akal sehat, tidak akan ada satupun agama yang menghalalkan permusuhan karena suatu perbedaan selama semua pihak saling menghormati satu sama lain dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing.
Dalam perspektif Islam, perbedaan pada hakikatnya bukanlah suatu masalah yang serius karena merupakan garis ketentuan Allah. Dalam hal ini Islam secara tegas menjamin hak-hak dasar kemanusiaan yaitu apa yang menjadi tujuan diturunkannya syariat (maqasid asy-syari’ah) yang meliputi jaminan atas: Pertama, kebebasan agama atau mempertahankan keyakinan, yang berarti syariat diturunkan bertujuan untuk melindungi agama dan keyakinan setiap orang (hifz ad-din). Kedua, keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan diluar ketentuan hukum (hifz an-nafs). Ketiga, keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl). Keempat, keamanan harta benda atau hak milik pribadi (hifzu an-mal). Dan kelima, kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifu al-‘aql). Menurut pandangan Hasyim Muzadi, keharusan menjaga prinsip pluralisme tersebut tidak hanya dalam aspek norma-norma keagamaan, tapi juga dari tinjauan sosiologis. Argumen ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa berdasarkan pengalaman di Indonesia, toleransi dan kerukunan hidup beragama berjalan cukup baik. Islam yang masuk ke Indonesia bercorak sangat akomodatif terhadap budaya lokal, termasuk kepercayaan-kepercayaan sehingga mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks.
Pluralisme sosiologis adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan seseorang untuk tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif) meskipun berbeda keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan untuk menerima atau mengambil gagasan dari kalangan lain. Pada gilirannya pluralisme ini akan melahirkan sikap toleran terhadap yang lain. Sikap ini amat penting ditetapkan dalam pergaulan sosial seperti di Indonesia. Sikap pluralistik tersebut merupakan modal sosial untuk hidup bersama dalam keragaman sosial, budaya, politik, dan agama secara damai dan beradab.
Barangkali perlu dikemukakan kembali pengertian pluralisme yang sudah demikian terdistorsi. Pengertian pluralisme sebagai keseragaman/penyamaan dan pengertian pluralisme sebagai keberagaman. Justru disinilah letak masalah krusialnya. Kesalahan pemahaman istilah sehingga menibulkan konflik yang berkepanjangan. Untuk itu, seharunya perlu dibuka forum guna menyamakan persepsi dan menyepakati istilah yang bermakna sama. Dengan demikian segala sengketa dan silang pendapat bisa segera diakhiri.
*(dirangkum dari berbagai sumber)