Kamis, 24 Mei 2012

Menggugat Eksistensi Sekolah


by M. Wahid Rosyidi
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (atau "murid") di bawah pengawasan guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. (Wikipedia). Kata sekolah berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Namun, Saat ini, kata sekolah berubah arti menjadi: merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.
Peran sekolah sangatlah besar dan menjadi tumpuan bagi orang tua dalam mendidik anak. Sekolah telah menjadi lembaga pendidikan sebagai media berbenah diri dan membentuk nalar berfikir yang kuat. Di sekolah, anak belajar menata dan membentuk karakter. Sekolah merupakan wahana yang mencerdaskan dan memberikan perubahan kehidupan anak-anak didik. Dengan kata lain, sekolah mampu memberikan warna baru bagi kehidupan anak ke depannya, sebab di sekolah mereka ditempa untuk belajar berbicara, berfikir, dan bertindak. Yang jelas, sekolah mendidik anak untuk menjadi dirinya sendiri. Sekolah bertanggung jawab menanamkan pengetahuan-pengetahuan baru yang reformatif dan transformatif dalam membangun bangsa yang maju dan berkualitas. Dengan demikian, peran sekolah sangat besar dalam menentukan arah dan orientasi bangsa ke depan.

Lebih jauh lagi peran sekolah menjadi sangat signifikan bagi perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Dengan sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk menjadi seorang ahli yang sesuai dengan bidang dan bakatnya si anak didik, yang berguna bagi dirinya, dan berguna bagi nusa dan bangsa. Dengan sekolah pula, umat manusia yang berperadaban dan beragama mendidik anak-anaknya untuk menjadi anak yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang tinggi sebagai bekal untuk melanjutkan dan memperjuangkan agamanya.

Tak pelak lagi di era globalisasi sekarang ini, orang tua yang memiliki keterbatasan dalam mendidik anak-anaknya telah menyerahkan anak-anaknya kepada sekolah dengan maksud utama agar di sekolah itu anak-anak mereka menerima ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipergunakan sebagai bekal hidupnya kelak di kehidupan dunianya dan kehidupan akheratnya.

Padahal Islam menganjurkan bahwa pendidikan anak yang utama dan pertama adalah dalam keluarga. Pihak yang memiliki kewajiban pertama dan utama dalam mendidik anak adalah orangtua. Hal ini tercermin dari hadist berikut ini: Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR a-Bukhari, Muslim, al-Baihaqi, an-Nasa'i, at Tirmidzi). Demikian pula Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah memerintahkan kepada setiap orang beriman untuk menjaga dirinya dan keluarganya termasuk anak-anaknya dari api neraka (QS at-Tahrim [66]: 6).

Dengan demikian sekolah adalah pelengkap proses pendidikan yang diberikan orangtua di rumah. Dalam Islam, sekolah diperlukan untuk melahirkan para ahli ilmu pengetahuan, para pemimpin mukhtis yang cerdas, para ahli ijtihad dan ahli fikih, ahli teknik yang mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ahli ini diperlukan oleh umat untuk kesejahteraan hidup dan kejayaan umat di mata dunia. Karena itu, sekolah harus dibingkai dalam sistem pendidikan yang memiliki visi dan misi untuk kesejahteraan dan kebangkitan umat.

Kerja Sama antara Keluarga dan Sekolah
Hasil pendidikan yang baik akan diperoleh jika ada kerjasama yang erat dan harmonis antara sekolah dan keluarga atau orang tua. Dengan adanya kerja sama itu, orang tua akan mendapatkan :
a. Pengetahuan dan pengalaman dari guru dalam hal mendidik anak-anaknya.
b. Mengetahui berbagai kesulitan yang sering dihadapi anak-anaknya di sekolah.
c. Mengetahui tingkah laku anaknya selama di sekolah, seperti apakah anaknya rajin, malas, suka membolos, suka mengantuk, nakal dan sebagainya.

Sedangkan bagi guru, dengan adanya kerja sama tersebut guru akan mendapatkan :
a. Informasi-informasi dari orang tua tentang kehidupan dan sifat-sifat anaknya. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi guru dalam memberikan pendidikan sebagai anak didiknya.
b. Bantuan-bantuan dari orang tua dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi anak didiknya di sekolah.

Fungsi Sekolah
Sekolah merupakan wahana sosialisasi anak yang akan menentukan corak berfiki rdan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma yang diyakini dan dimiliki masyarakat. Pada gilirannya, kepribadian anak akan terbentuk sesuai dengan akar budayanya dengan kemampuan merespon perubahan di masyarakat. Di sekolah berlangsung proses sosialisasi anak melalui pendidikan. Guru menjadi transformer nilai-nilai budaya kepada semua anak didik untuk menjadi bagian dari masyarakat yang berbudaya. Pada intinya, sekolah memiliki fungsi pendidikan, peran sosial, indokrinasi, pemeiliharaan, dan aktivitas kemasyarakatan.

Lebih lanjut dijelaskan oleh (Mukhlison, 2008) bahwa sekolah memiliki fungsi (a) Mempersiapkan anak untuki suatu pekerjaan, (b) Memberikan ketrampilan dasar, (c)  Membuka kesempatan memperbaiki nasib, (d) Menyediakan tenaga pembangunan, (e) Membentuk manusia sosial

Tantangan pendidikan era global
Pada abad ke 21 kencangnya arus globalisasi semakin terasa, menghantam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Tofler, pada saat ini sedang terjadi pergeseran kekuasaan (powershift) yang menggerogoti setiap pilar sistem kekuasaan lama yang secara mendasar telah dan akan mengubah kehidupan keluarga, bisnis, politik, negara-negara, dan struktur kekuasaan global itu sendiri. Kekuatan, kekayaan, dan pengetahuan menjadi tiga dasar kekuasaan yang mementukan kompetisi global.
Dalam era Informasi, eksistensi keluarga sebagai bagian dari masyarakat juga memberikan implikasi penting bagi sistem baru pendidikan. Menurut Reigeluth dan Garfinkel, model karakteristik masyarakat informasi tersebut antara lain :
a. Tujuan dan model berkisar pada proses pengorganisasian iptek mengenai informasi dan pengembangan pengetahuan.
b. Dasar kekuatannya adalah perluasan kekuatan kognitif dengan teknologi tinggi.
c. Paradigmanya adalah berfikir sistemik, munculnya hubungan sebab akibat (causality), kompleksitas yang dinamis, orientasi ekologi.
d. Berkembangnya teknologi; proses pengumpulan, pengorganisasian, penyimpanan informasi, jaringan komunikasi, sistem perencanaan dan rancangan.
e. Komoditi pokok; informasi dan pengetahuan sebagai kunci produk, manusia profesional dan pelayanan teknik adalah komoditi utamanya.
f. Pola konsumsi lebih kecil dan lebih efisien.
g. Karakteristik organisasi; terpadu, sinergi, perubahan, dan fleksibilitas.

Stoop (1981: 463-464) menjelaskan bahwa pada hakekatnya lembaga mempunyai 2 fungsi terhadap masyarakat yaitu fungsi layanan dan fungsi pemimpin. Dikatakan fungsi layanan karena ia melayani kebutuhan masyarakat, baik itu pendidikan, pengajaran maupun kebutuhan daerah-daerah setempat. Dikatakan sebagai pemimpin karena ia memimpin masyarakat disertai dengan penemuan-penemuannya untuk memajukan kehidupan masyarakat.

Fuad Ihsan (1997: 98-99) mengutip pendapatnya Sapiah Faisal (1980) dalam bukunya dasar-dasar kependidikan menyebutkan 4 peran sekolah terhadap perkembangan masyarakat adalah sebagai berikut;
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa
Kecerdasan masyarakat dapat dikembangkan melalui pendidikan formal dan non formal. Kecerdasan memang sangat penting bagi perkembangan masyarakat. Masyarakat yang tingkat kecerdasannya tinggi akan mudah memecahkan problema hidup dalam masyarakat.
b. Membawa virus pembaharuan bagi perkembangan masyarakat.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan akan banyak melakukan penelitian untuk meningkatkan kualitasnya. Penelitian tersebut akan menghasilkan penemuan-penemuan baru yang pada akhirnya akan dipergunakan untuk meningkatkan perkembangan masyarakat.
c. Melahirkan warga masyarakat yang siap dan terbekali bagi kepentingan kerja di lingkungan masyarakat.
Untuk terjun kelapangan pekerjaan diperlukan bekal yang matang, pengetahuan, sikap dan keterampilan. Sekolah akan berusaha menyusun kurikulumnya secara fleksibel terhadap perkembangan zaman sehingga akan menghasilkan out put yang siap pakai.
d. Melahirkan sikap positif dan konstruktif bagi warga masyarakat, sehingga tercipta integrasi social yang harmonis di tengah-tengah masyarakat.
Sikap positif dan konstruktif sungguh sangat didambakan oleh masyarakat dan sekolah telah berusaha membekali siswanya sejak sekolah dasar lewat pendidikan agama, pendidikan moral pancasila, maupun bidang studi yang lain.

Namun dibalik fungsi dan peran sekolah yang demikian besar itu, ada beberapa hal yang patut dipertanyakan. Pertama, proses pendidikan cenderung cognitif oriented. Kecenderungan ini telah mengarahkan anak didik berperilaku hedonis, konsumtif,  hanya berfikir nilai ekonomis belaka. Kedua,  Munculnya persaingan antar sekolah dalam ranah material. Sekolah berupaya mencari murid sebanyak-banyaknya dengan perhitungan semakin banyak siswa akan semakin banyak nilai profit yang diterima, apalagi banyaknya kucuran dana dari pemerintah baik berupa BOS, BSM, Blogrant dan bantuan-bantuan lainnya. Sekolah memiliki kecenderungan menyusun proposal untuk menerima bantuan, sementara aspek kualitas masih berada diurutan berikutnya. Ketiga, Mengikisnya nilai-nilai agama pada peserta didik. Transformasi pendidikan yang terjadi melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi cenderung cognitif oriented sehingga transformasi nilai pun terabaikan. Ketidakseimbangan tersebut dapat menjadikan terkikisnya nilai-nilai agama pada peserta didik. Salah satu contoh konkretnya misalnya pada kasus pengggunaan fasilitas Facebook. Facebook sebagai alat jejaring sosial bisa dimanfaatkan sebagai media transformasi pengetahuan dan sosial namun dalam penggunaannya banyak pemakainya yang mengabaikan waktu solat, mengabaikan pekerjaan, mengabaikan belajar, dan mengabaikan kewajibannya yang lain dan lebih mementingkan diri untuk ber-facebook ria. Tidak itu saja media televisi, internet dan HP pun ikut andil dalam  membentuk nilai moral bagi anak didik.

Kini eksistensi sekolah memang patut dipertanyakan, sejauh manakah sekolah mampu memberikan tranformasi pengetahuan yang berbasis religius sehingga di balik majunya teknologi informasi dan komunikasi, sekolah mampu membekali siswa agar siswa memiliki filter dan kemampuan menyerap tradisi budaya global sehingga tata nilai  moral dan budaya luhur bangsa serta nilai-nilai agama tetap menjadi acuan utama anak didik dalam berperilaku sehari-hari. Sebuah tantangan yang sangat berat bagi sekolah.  Dengan demikian peran guru menjadi sangat strategis,  andaikan surga ditangan kanan dan neraka di tangan kiri, maka guru harus bisa membawa siswa meraih tangan kanan.  Bukankah guru kencing berdiri, murid kencing berlari? Semoga saja para guru diberi hidayahNya sehingga mampu membimbing siswa meraih surga.***

Selasa, 01 Mei 2012

Keutamaan Meninggalkan Perkara Haram


Oleh: M. Wahid Rosyidi
Takwa adalah menunaikan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan dan meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan. Jika bersamaan dengan itu terdapat suatu amalan (sunnah),  maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan. Menjauhi  perkara-perkara yang haram  meskipun sedikit adalah lebih utama daripada memperbanyak amalan-amalan yang sifatnya sunnah. Karena meninggalkan keharaman-keharaman adalah wajib, sedangkan amalan-amalan tersebut hukumnya sunnah.”(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam).

Pernyataan tersebut tentu bukan berarti kita tidak perlu melaksanakan yang sunnah. Kalimat hikmah di atas, sesungguhnya lebih cocok bila dikorelasikan dengan perilaku remaja masa kini, remaja era globalisasi, remaja yang kehilangan tali tradisi, remaja yang mengagungkan kesenangan di atas segalanya. Perilaku muda-mudi yang  yang tak bisa lagi dibendung oleh norma-norma tradisi,  bahkan norma religi pun bisa tumbang. Entahlah, apakah ini bagian dari zaman edannya Ronggowarsito, atau tanda bahwa dunia memang sudah benar-benar tua.  Kalau mau didata tentang perilaku negatif remaja cukup banyak mulai dari penyalahgunaan obat terlarang, kekerasan kelompok,  pornografi,  perilaku remaja dalam menjalin kasih,  dan berbagai kenakalan remaja lainnya baik bersifat kriminal maupun normatif.

Dalam kaitannya menjalin kasih antara cowok dan cewek, kalau saya katakan bahwa saya berani nembak cewek itu saat selesai kuliah dan sudah bekerja barangkali akan ditertawai oleh anak-anak zaman sekarang, meskipun rasa cinta terhadap lawan jenis sudah ada sejak saya kelas 1 SMP. Persoalan yang sebenarnya bukanlah nembak ceweknya, tetapi bagaimana cara menjalin hubungan setelah pernyataan cinta itu saling berbalas, dalam hal ini sekarang lebih populer disebut pacaran.

Pacaran boleh saja dianggap lumrah, tetapi yg penting bisa menjaga nilai-nilai adat ketimuran maupun nilai-nilai agama. Lha ini kan yang susah, kalau nilai agama itu diterapkan dalam berpacaran ya namanya mungkin bukan pacaran lagi kan? Sebab pacaran kan identik dengan berduaan, entah di pantai, di mall, di berbagai tempat hiburan.

Yang sangat menyedihkan bila pacaran dilakukan di sekolah. Bagaimana ini bisa terjadi? Ya bisa saja, lha pacarnya teman sekelas. Repotnya, teman-temannya yang mengetahui hal ini justru memberikan toleransi yang sangat tinggi, akibatnya banyak kesempatan yang bisa dilakukan keduanya. Masyaallah, ini sebenarnya racun, tetapi mengapa kita membiarkannya? Malah menoleransikannya, semakin banggakah kita dengan perilaku haram?

Sebagai seorang guru saya menaruh keprihatinan yang mendalam  terhadap perilaku berpacaran di sekolah. Sekolah seharusnya menjadi tempat penyematan tata nilai kebaikan kepada siswa, tetapi sudah dicemari dan tercoreng dengan perilaku yang jauh dari nilai edukatif. Perilaku yang hanya memuja kesenangan diatas segalanya, perilaku hedonis.

Tentu saja meletakkan kesalahan hanya kepada siswa sangatlah tidak bijak, sebab berbagai media baik cetak maupun elektronik, media internet termasuk lagu-lagu yang demikian populer dan dihafal siswa umumnya mendukung perilaku ‘menyimpang’ ini. Dulu Anggun C. Sasmi yang sekarang sudah menjadi penyanyi internasional, melantunkan lagu Takut  yang intinya seorang remaja apalagi masih sekolah tidak patut dan tidak pantas berpacaran, demikian pula Crisye lewat lagu Anak Sekolah menampilkan cerita yang sama tentang belum pantasnya remaja sekolah berpacaran. Ini berbeda dengan lagunya Blink Takut Jatuh Cinta atau Putih Abu-Abu yang sekarang mulai populer, cenderung mengeksploitasi cinta remaja, terlebih lagi lagu bergenre dangdut Hamil Duluan jelas menampilkan kemaksiatan penuh dengan keriangan.  Juga lagu Iwak Peyek versi bahasa Jawa yang jelas melanggar norma kepatutan karena syairnya yang terlalu vulgar dan tidak pantas secara normatif, tetapi justru menjadi populer. Memang aneh kan?

Dalam kaitan yang lebih luas perilaku korupsi, suap, money politic, dan segala bentuk kejahatan dan kemaksiatan semestinya bisa diminimalisir apabila meninggalkan yang haram menjadi bagian dari lebih dikedepankan daripada sekedar menjalankan yang sunnah, meski yang sunah akan lebih baik jika dilakukan.
Sudah seharusnya keutamaan meninggalkan yang haram  menjadi nafas hati kita.  Sehingga setiap kali kita akan melakukan perkara yang haram, kita bisa sabar dan mampu meninggalkannya.  Semoga. Amin.