oleh: M. Wahid Rosyidi
Penetapan awal ramadhan 2012 atau 1433 H kembali terjadi
perbedaan, dan dimungkinkan penetapan Idhul Fitri pun akan terjadi perbedaan
kembali. Muhammadiyah dan FPI menetapkan awal Ramadhan sehari lebih dulu
daripada keputusan pemerintah yang juga didukung oleh NU dan berbagai ormas
muslim lain melalui sidang ishbat departemen agama.
Perbedaan penentuan awal Ramadhan maupun Idul Fitri, bagi
kalangan intelektual atau kaum terpelajar merupakan hal yang bisa dimaklumi,
bisa diterima dengan mudah, argumen yang dianut masing-masing dengan berbagai
tetek bengek penjelasan, dalil-dalil dan lain sebagainya itu. Akan tetapi, bagi
kalangan awam, yang justru merupakan mayoritas kaum muslim, seperti pedagang,
petani, nelayan, buruh, karyawan, perbedaan itu menjadi tanda tanya besar.
Perbedaan itu menjadi kebingungan dan ketidakmengertian, dan kesulitan
menentukan pilihan lebih-lebih masyarakat yang tidak memiliki affiliasi ke
ormas tertentu. Masyarakat yang fanatik atau yang menjadi anggota ormas, mudah
saja menentukan pilihan, misalnya anggota NU mengikuti keputusan NU, anggota
Muhammadiyah ikut keputusan Muhammadiyah disamping itu ada juga anggota suatu
jamiyah tertentu yang juga menentukan sendiri awal Ramadhan mennurut
perhitungan sendiri meskipun dilakukan secara diam-diam.
Benar, dalam Islam dikatakan bahwa perbedaan itu adalah
suatu rahmat, tetapi perbedaan semacam inikah yang disebut rahmat itu? Fenomena
perbedaan awal Ramadhan dan idhul Fitri sudah seringkali terjadi. Ingatan
penulis, semenjak reformasi perbedaan itu lebih banyak daripada kebersamaan.
Sekali lagi patut dipertanyakan, apakah perbedaan ini memang benar-benar murni
karena ketaatazasan memenuhi dan menjalankan perintah agama ataukah ada
dilandasi kepentingan politik, kepentingan golongan meski itu hanya sepercik
saja? Bukankah sebab nila setitik rusak susu sebelangga? Maka, jangan salahkan
masyarakat awam bila kepercayaan kepada pemerintah atau ormas makin berkurang.
Jangan salahkan masyarakat bila dikandang ayam berkokoh, di kandang kambing
mengembik.
Masa Orde Baru, setahu penulis tidak pernah terjadi
perbedaan itu. Bisa dipahami, masa pemerintahan yang cenderung militeristik itu
sangat tegas. Sesuatu yang dianggap bisa merugikan langsung dilibas.
Mengaca dari sejarah masa lalu ini mestinya reformasi dan
demokrasi di negeri ini sebaiknya berjalan perlahan-lahan. Masyarakat yang sudah
lama terkungkung dan terbiasa dengan pola pemerintahan Orde Baru, pastilah
memerlukan waktu untuk berubah, tidak serta merta ganti pemerintah berubahlah
segalanya 100 derajat. Reformasi dan demokrasi yang keblablasan, bisa
menjadikan empati dan simpati masyarakat berbelok arah. Bisa jadi masyarakat
akan rindu kembali pola pemerintahan orde baru, sebab jargon kebersamaan itu
indah pun masih tak lekang dari mindset masyarakat. Gotong royong sebagai
manifestasi dan implementasi kebersamaan itu rasanya tak akan bisa hilang dari
tradisi masyarakat kita. Dalam agama pun diajarkan bahwa sebaik-baik perkara
itu yang tengah-tengah, tidak terlalu kanan atau ke kiri. Nah, dengan demikian
dalam pemerintahan yang demokratis sekalipun sebenarnya ketegasan itu tetap diperlukan.
Sungguh ironi, sementara pemerintah dengan sidang ishbatnya
telah menentukan suatu keputusan, namun tidak bisa ditaati oleh masyarakatnya.
Inikah demokrasi itu? Semua terserah rakyat? Kalau begitu mengapa diadakan
sidang isbhat? Toh akhirnya sia-sia belaka. Dimana peran pemerintah? Bukankah
negara memiliki kewenangan untuk memaksa? Atau karena demokrasi maka pemerintah
menjadi tidak berwibawa? Atau karena hak asasi manusia? Atau karena demi
kepentingan kelompok tertentu? Atau karena sesuatu seperti lagunya Syahrini
itu? Atau karena.... dan berpuluh-puluh, beratus-ratus, berjuta-juta,
berttrilyun-trilyun alasan lainnya? Bukankah kita wajib menaati umaro'?Ya
inilah pertanyaan-pertanyaan masyarakat awam itu! Mereka bingung, bingung dan
bingung. Penjelasan tentang titik
derajat, hilal, azimut, dan tetek bengek lainnya tidak akan masuk ke akal
pikiran mereka. Mindset mereka kebersamaan itu indah. Mengapa kita masih saja
mengubur mimpi indah mereka?***