Rabu, 08 Agustus 2012

KEBERSAMAAN YANG DIDAMBAKAN DAN YANG TERABAIKAN


oleh: M. Wahid Rosyidi

Penetapan awal ramadhan 2012 atau 1433 H kembali terjadi perbedaan, dan dimungkinkan penetapan Idhul Fitri pun akan terjadi perbedaan kembali. Muhammadiyah dan FPI menetapkan awal Ramadhan sehari lebih dulu daripada keputusan pemerintah yang juga didukung oleh NU dan berbagai ormas muslim lain melalui sidang ishbat departemen agama.
Perbedaan penentuan awal Ramadhan maupun Idul Fitri, bagi kalangan intelektual atau kaum terpelajar merupakan hal yang bisa dimaklumi, bisa diterima dengan mudah, argumen yang dianut masing-masing dengan berbagai tetek bengek penjelasan, dalil-dalil dan lain sebagainya itu. Akan tetapi, bagi kalangan awam, yang justru merupakan mayoritas kaum muslim, seperti pedagang, petani, nelayan, buruh, karyawan, perbedaan itu menjadi tanda tanya besar. Perbedaan itu menjadi kebingungan dan ketidakmengertian, dan kesulitan menentukan pilihan lebih-lebih masyarakat yang tidak memiliki affiliasi ke ormas tertentu. Masyarakat yang fanatik atau yang menjadi anggota ormas, mudah saja menentukan pilihan, misalnya anggota NU mengikuti keputusan NU, anggota Muhammadiyah ikut keputusan Muhammadiyah disamping itu ada juga anggota suatu jamiyah tertentu yang juga menentukan sendiri awal Ramadhan mennurut perhitungan sendiri meskipun dilakukan secara diam-diam.

Benar, dalam Islam dikatakan bahwa perbedaan itu adalah suatu rahmat, tetapi perbedaan semacam inikah yang disebut rahmat itu? Fenomena perbedaan awal Ramadhan dan idhul Fitri sudah seringkali terjadi. Ingatan penulis, semenjak reformasi perbedaan itu lebih banyak daripada kebersamaan. Sekali lagi patut dipertanyakan, apakah perbedaan ini memang benar-benar murni karena ketaatazasan memenuhi dan menjalankan perintah agama ataukah ada dilandasi kepentingan politik, kepentingan golongan meski itu hanya sepercik saja? Bukankah sebab nila setitik rusak susu sebelangga? Maka, jangan salahkan masyarakat awam bila kepercayaan kepada pemerintah atau ormas makin berkurang. Jangan salahkan masyarakat bila dikandang ayam berkokoh, di kandang kambing mengembik.
Masa Orde Baru, setahu penulis tidak pernah terjadi perbedaan itu. Bisa dipahami, masa pemerintahan yang cenderung militeristik itu sangat tegas. Sesuatu yang dianggap bisa merugikan langsung dilibas.

Mengaca dari sejarah masa lalu ini mestinya reformasi dan demokrasi di negeri ini sebaiknya berjalan perlahan-lahan. Masyarakat yang sudah lama terkungkung dan terbiasa dengan pola pemerintahan Orde Baru, pastilah memerlukan waktu untuk berubah, tidak serta merta ganti pemerintah berubahlah segalanya 100 derajat. Reformasi dan demokrasi yang keblablasan, bisa menjadikan empati dan simpati masyarakat berbelok arah. Bisa jadi masyarakat akan rindu kembali pola pemerintahan orde baru, sebab jargon kebersamaan itu indah pun masih tak lekang dari mindset masyarakat. Gotong royong sebagai manifestasi dan implementasi kebersamaan itu rasanya tak akan bisa hilang dari tradisi masyarakat kita. Dalam agama pun diajarkan bahwa sebaik-baik perkara itu yang tengah-tengah, tidak terlalu kanan atau ke kiri. Nah, dengan demikian dalam pemerintahan yang demokratis sekalipun sebenarnya ketegasan itu tetap diperlukan.

Sungguh ironi, sementara pemerintah dengan sidang ishbatnya telah menentukan suatu keputusan, namun tidak bisa ditaati oleh masyarakatnya. Inikah demokrasi itu? Semua terserah rakyat? Kalau begitu mengapa diadakan sidang isbhat? Toh akhirnya sia-sia belaka. Dimana peran pemerintah? Bukankah negara memiliki kewenangan untuk memaksa? Atau karena demokrasi maka pemerintah menjadi tidak berwibawa? Atau karena hak asasi manusia? Atau karena demi kepentingan kelompok tertentu? Atau karena sesuatu seperti lagunya Syahrini itu? Atau karena.... dan berpuluh-puluh, beratus-ratus, berjuta-juta, berttrilyun-trilyun alasan lainnya? Bukankah kita wajib menaati umaro'?Ya inilah pertanyaan-pertanyaan masyarakat awam itu! Mereka bingung, bingung dan bingung.  Penjelasan tentang titik derajat, hilal, azimut, dan tetek bengek lainnya tidak akan masuk ke akal pikiran mereka. Mindset mereka kebersamaan itu indah. Mengapa kita masih saja mengubur mimpi indah mereka?***