Oleh: M. Wahid Rosyidi
Takwa
adalah menunaikan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan dan meninggalkan
apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan. Jika bersamaan dengan itu terdapat
suatu amalan (sunnah), maka itu adalah
kebaikan di atas kebaikan. Menjauhi perkara-perkara yang haram meskipun sedikit adalah lebih utama daripada
memperbanyak amalan-amalan yang sifatnya sunnah. Karena meninggalkan
keharaman-keharaman adalah wajib, sedangkan amalan-amalan tersebut hukumnya
sunnah.”(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam).
Pernyataan
tersebut tentu bukan berarti kita tidak perlu melaksanakan yang sunnah. Kalimat
hikmah di atas, sesungguhnya lebih cocok bila dikorelasikan dengan perilaku
remaja masa kini, remaja era globalisasi, remaja yang kehilangan tali tradisi,
remaja yang mengagungkan kesenangan di atas segalanya. Perilaku muda-mudi
yang yang tak bisa lagi dibendung oleh
norma-norma tradisi, bahkan norma religi
pun bisa tumbang. Entahlah, apakah ini bagian dari zaman edannya Ronggowarsito,
atau tanda bahwa dunia memang sudah benar-benar tua. Kalau mau didata tentang perilaku negatif
remaja cukup banyak mulai dari penyalahgunaan obat terlarang, kekerasan
kelompok, pornografi, perilaku remaja dalam menjalin kasih, dan berbagai kenakalan remaja lainnya baik
bersifat kriminal maupun normatif.
Dalam
kaitannya menjalin kasih antara cowok dan cewek, kalau saya katakan bahwa saya
berani nembak cewek itu saat selesai kuliah dan sudah bekerja barangkali akan
ditertawai oleh anak-anak zaman sekarang, meskipun rasa cinta terhadap lawan
jenis sudah ada sejak saya kelas 1 SMP. Persoalan yang sebenarnya bukanlah
nembak ceweknya, tetapi bagaimana cara menjalin hubungan setelah pernyataan
cinta itu saling berbalas, dalam hal ini sekarang lebih populer disebut pacaran.
Pacaran
boleh saja dianggap lumrah, tetapi yg penting bisa menjaga nilai-nilai adat
ketimuran maupun nilai-nilai agama. Lha ini kan yang susah, kalau nilai agama
itu diterapkan dalam berpacaran ya namanya mungkin bukan pacaran lagi kan?
Sebab pacaran kan identik dengan berduaan, entah di pantai, di mall, di
berbagai tempat hiburan.
Yang
sangat menyedihkan bila pacaran dilakukan di sekolah. Bagaimana ini bisa
terjadi? Ya bisa saja, lha pacarnya teman sekelas. Repotnya, teman-temannya
yang mengetahui hal ini justru memberikan toleransi yang sangat tinggi,
akibatnya banyak kesempatan yang bisa dilakukan keduanya. Masyaallah, ini
sebenarnya racun, tetapi mengapa kita membiarkannya? Malah menoleransikannya,
semakin banggakah kita dengan perilaku haram?
Sebagai
seorang guru saya menaruh keprihatinan yang mendalam terhadap perilaku berpacaran di sekolah.
Sekolah seharusnya menjadi tempat penyematan tata nilai kebaikan kepada siswa,
tetapi sudah dicemari dan tercoreng dengan perilaku yang jauh dari nilai edukatif.
Perilaku yang hanya memuja kesenangan diatas segalanya, perilaku hedonis.
Tentu
saja meletakkan kesalahan hanya kepada siswa sangatlah tidak bijak, sebab
berbagai media baik cetak maupun elektronik, media internet termasuk lagu-lagu
yang demikian populer dan dihafal siswa umumnya mendukung perilaku ‘menyimpang’ ini. Dulu Anggun C. Sasmi
yang sekarang sudah menjadi penyanyi internasional, melantunkan lagu Takut yang intinya seorang remaja apalagi masih
sekolah tidak patut dan tidak pantas berpacaran, demikian pula Crisye lewat
lagu Anak Sekolah menampilkan cerita
yang sama tentang belum pantasnya remaja sekolah berpacaran. Ini berbeda dengan
lagunya Blink Takut Jatuh Cinta atau Putih Abu-Abu yang sekarang mulai
populer, cenderung mengeksploitasi cinta remaja, terlebih lagi lagu bergenre
dangdut Hamil Duluan jelas
menampilkan kemaksiatan penuh dengan keriangan.
Juga lagu Iwak Peyek versi
bahasa Jawa yang jelas melanggar norma kepatutan karena syairnya yang terlalu
vulgar dan tidak pantas secara normatif, tetapi justru menjadi populer. Memang
aneh kan?
Dalam
kaitan yang lebih luas perilaku korupsi, suap, money politic, dan segala bentuk
kejahatan dan kemaksiatan semestinya bisa diminimalisir apabila meninggalkan
yang haram menjadi bagian dari lebih dikedepankan daripada sekedar menjalankan
yang sunnah, meski yang sunah akan lebih baik jika dilakukan.
Sudah
seharusnya keutamaan meninggalkan yang haram
menjadi nafas hati kita. Sehingga
setiap kali kita akan melakukan perkara yang haram, kita bisa sabar dan mampu
meninggalkannya. Semoga. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar